Friday, December 14, 2007

PENDIDIKAN HUMANIS

Sistem Pendidikan Indonesia sedang berproses menuju cara pandang baru (New Paradigm) yang lebih humanis (dengan mengedepankan hak-hak pembelajar) serta lebih demokratis, namun sekaligus juga lebih berorientasi pada perkembangan ICT (Information-Communication and Technologie).Soedjatmoko, sebagai tokoh Humanitarianisme, dalam S.Masruri (2005), mengungkapkan ; perlunya kita semua menghindari ekses moral dari tekanan ICT yang hampir tak terkendali, dengan cara melibatkan banyak pihak yang peduli (kaum agamawan dan kaum budayawan) untuk secara bersama membangun sistem pendidikan yang didinginkan.Melalui sistem pendidikan yang seperti itu diharapkan manusia dan masyarakat Indonesia terdidik, akan menjadi manusia yang “serba tahu” (well informmed) , memiliki komitmen yang tinggi (well commited), yang mampu menerapkan long life learning disertai kesadaran yang tinggi tentang keadilan sosial.
Untuk mewujudkan upaya pembaharuan sistem pendidikan yang humanis, menuntut berbagai pendekatan inovatif untuk memperluas proses belajar yang mampu menembus “tembok besar konvensional”. Patut disayangkan bahwa dari beberapa dekade pembangunan pendidikan kita di tanah air, “kekurangan” (kalau tidak mau disebut kegagalan) justru terletak pada ketidakpercayaan masyarakat itu sendiri untuk ikut berpartisipasi dalam program dimaksud. Contoh kasus sebagai indikasi adanya bukti terhadap hal ini ditayangkan oleh media televisi kita di minggu kedua bulan Desember 2007, “adanya sekelompok masyarakat yang secara bersama dan beramai-ramai merusak gedung sekolah” dan notabene gedung sekolah tersebut justru dibangun dari dana masyarakat itu sendiri (APBD). Mereka seolah tak merasa ikut memiliki proses pendidikan yang berlangsung (sense of belonging), padahal bukan tidak mungkin anak-anak mereka sendiri ada yang menjadi peserta didik dari sekolah yang dirusaknya.Tantangan dari proses belajar masyarakat terhadap “perubahan” dapat ditengarai antara lain “tertutupnya kesediaan diri untuk menerima perubahan” (tidak munculnya hasrat untuk berubah), rendahnya komitmen terhadap adanya perubahan, serta rendahnya keterlibatan masyarakat terhadap program perubahan (sense of responsibility).Oleh karenanya proses belajar sosial kemasyarakatan yang harus diprioritaskan sebagai WAJAH BARU KEBIJAKAN PENDIDIKAN KITA adalah kebijakan publik yang mengedepankan INOVASI SOSIAL dan PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, sehingga menemukan hal-hal baru bagi upaya nyata KELUAR DARI JEPITAN KEMISKINAN.Patut dicermati pemikiran yang mencerdasi dan mengkritisi masalah ini, dengan pernyataan bahwa “salah satu ciri utama dari model pembangunan pada beberapa dekade terakhir adalah BERKEMBANGNYA KEYAKINAN DIRI DARI MEREKA YANG SECARA TRADISIONAL TIDAK BERDAYA DAN TERSINGKIR KARENA PROSES PERUBAHAN (PEMBANGUNAN) ITU SENDIRI.Mengapa demikian, karena “semua upaya perubahan (pembangunan) tidak akan membawa manfaat jangka panjang TANPA PEMECAHAN MASALAH KEMISKINAN ITU SENDIRI”.
Ini mungkin simpul-simpul akhir dari esensi pendidikan humanis, yang berupaya memberdayakan manusia secara manusiawi agar menjadi manusia sesungguhnya (seutuhnya), karena pastilah Tuhan tidak menciptakan hambaNya untuk teraniaya, apalagi oleh suatu sistem yang dibuat oleh hambaNya yang lain.Kita memang membutuhkan suatu sistem pendidikan yang berpihak pada kebutuhan kemanusiaan, yaitu manusia berdaya. Manusia yang mampu melawan segala upaya yang memperdaya dirinya dari kesejahteraan sosial, kesejahteraan moral dan kesejahteraan spiritualnya.Dengan “bersama” semoga harapan kemanusiaan tersebut, bukanlah utopia!.Bukankah Tuhan Maha Tahu atas keinginan hambaNya?.
Jakarta, bulan akhir tahun 2007.
Salam saya
DS

Friday, April 27, 2007

BLOG SERUPA yang dapat dibuka

Untuk memperoleh tulisan serupa Anda dapat membuka 3 blog berikut :

http://deesetia.blogspot.com/
http://darsetiaw.blog.com/
http://edukasipress.wordpress.com/

Terima Kasih

Darsana Setiawan

Wednesday, April 18, 2007

PRAKATA

PRAKATA
Blog ini dibuat menjadi suatu langkah awal melakukan e-komunikasi untuk bertukar pengalaman tentang rumah pendidikan sekolah kita.
Apapun yang dapat kita kontribusikan melalui jalur blog/weblog ini, akan menjadi ladang pembelajaran bersama, dan muara akhirnya adalah kondisi yang lebih baik bagi masa depan generasi kita mendatang melalui pendidikannya.
Mulailah dari diri sendiri, sekarang juga klik! dan kalau mengandung kekurangan atau kesalahan, mari bersama kita perbaiki dan sempurnakan!
Salam guru,
Jakarta, 18 April 2007
Darsana Setiawan

UJIAN NASIONAL SLTA 2007

Sejak kemarin, Selasa 17 April 2007 Ujian Nasional (UN) untuk SLTA (SMA dan SMK serta MA dan MAK) telah mulai dilaksanakan, dan akan berakhir Kamis 18 April 2007. Para peserta didik yang mengikuti kegiatan UN tersebut tentu sedikit "gusar atau stress" dan ini adalah normal.
Menghadapi Ujian Akhir seperti UN bila tidak memunculkan sedikit kegusaran, justru menjadi pertanyaan diri sendiri. Banyak kemungkinan terjadi manakala menghadapi UN justru tidak ada respon "sedikit kegusaran", salah satunya yang menarik adalah karena UN memang tidak lagi menarik minat peserta didik kita untuk unjuk potensi diri melalui alat ukur STANDAR MINIMAL NASIONAL, karena sehari-harinya telah menggunakan STANDAR NASIONAL/ INTERNA-SIONAL YANG LEBIH TINGGI. Banyak sekolah memberikan pengayaan belajar dengan berbagai metode pembelajaran termasuk "drilling" soal-soal selama beberapa bulan menjelang tibanya jadwal UN. Bahkan sekolah-sekolah "bagus"di ibukota sampai berani mengorbankan pembelajaran mata pelajaran NON UN, hanya untuk memaksimalkan hasil UN.
Namun, bila yang terjadi adalah hilangnya motivasi peserta didik (sehingga tidak ada kegusaran kecil /stress ringan saat mengikuti UN karena merasa tidak akan lulus), maka kejadian seperti ini akan menjadi pekerjaan tersendiri bagi para teman-teman Guru di sekolah, terutama dalam kinerja profesi "kesiapan diri mengikuti UN" bagi para peserta didiknya.

Pengamatan saya yang lebih menarik dalam pelaksanaan UN 2007 saat ini, justru kejadian luar biasa (KLB) dari UN, seperti "adanya statemen Mendiknas di media elektronik kemarin, bahwa pelaksanaan UN di Ngawi Jawa Timur mengalami bencana kebocoran, dan Kepala Sekolah (KS) salah satu SMK yang mencuri naskah UN sebagai dokumen negara tersebut harus diusut oleh yang berwajib. Komentar saya tentang hal ini adalah : TAHUN LALU DIKABARKAN TERJADI KEBOCORAN UN DI CILEGON BANTEN DAN SEKARANG DI JAWA TIMUR, MAKA KE DEPAN SEBAIKNYA ADA UJI KOMPETENSI PERILAKU DAN KEPRIBADIAN GURU (KS adalah jabatan tambahan bagi seorang Guru). Profesi Polisi juga mengalami hal serupa seteleh ditemui di berbagai daerah adanya Polisi yang menembak Polisi.
Yang jelas peristiwa kebocoran UN telah menjadi komoditas informasi yang dapat menurunkan akutabilitas publik terhadap proses standarisasi kompetensi peserta didik di sekolah.
Pencurian naskah UN adalah pencurian terhadap dokumen negara, dan sudah seharusnya ditindak lanjuti secara serius , dan proses hukumya/hukumannya di sampaikan secara terbuka kepada publik/stake holder, agar dapat diketahui dan dipahami, sehingga "JANGAN MAIN-MAIN DENGAN DOKUMEN NEGARA-UN".

BAIK PERISTIWA KEBOCORAN UN MAUPUN PERISTIWA PENEMBAKAN ANTAR POLISI BAHKAN PERISTIWA PESAWAT TERBANG JURUSAN JAKARTA MAKASSAR TAPI LANDING DI PULAU NUSA TENGGARA, TERNYATA BERMUARA PADA MASALAH YANG SAMA YAITU "PROFESIONALISME" .
Kalau begitu komentar berikutnya adalah pembenahan kurikulum(standar Isi dan Standar Kelulusan), Standar sarana prasarana, Standar pengelolaan/manajemen sekolah, Standar pembiayaan itu penting, akan tetapi lebih penting lagi Standar Tenaga Pendidiknya, karena sebagus apapun standar-standar yang lain, membuminya dalam layanan fasilitasi kepada pembelajar akan sangat bergantung pada sang Guru "MAN BEHIND THE GUN"
Mari kita lebih berhati-hati dalam menerapkan Uji Kompetensi untuk Guru-guru kita yang harus DIBERDAYAKAN, sehingga jangan sampai yang terjadi justru DIPERDAYA.
Salam Guru,

Jakarta, 18 April 2007

DS