Monday, January 28, 2008

TEMPEnya diTEMPO

Sabtu pagi, 26 Januari 2007 Trans TV menyiarkan berita yang "mengejutkan tapi tidak mengherankan". Kepolisian di Surabaya berhasil menemukan hasil grebegan sebanyak 13.500 (tigabelas ribu lima ratus) Ton kedelai impor, di dalam Gudang PT "CI" yang menurut sinyalemen awal dari "informan", semestinya ada sekian kali lipat dari yang ditemukan. Mengejutkan karena kedelai impor dengan tiga unit mesin pembersih kedelai tersebut bisa melenggang beroperasi di saat seluruh bangsa ini sedang "ngap-ngapan" mencari kedelai untuk pembuatan tahu dan tempe yang mulai melangit harganya, serta berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan di beberapa perusahaan tahu atau tempe di tanah air.Ulah penimbun kedelai sebagai bahan pangan rakyat seperti ini, kalau di jaman "dulu" langsung dikenai tuntutan hukum yang bernama pasal "subversi ekonomi", sehingga para cukong penimbun bahan pangan tidak dapat lagi terlepas dari "pasal maut" yang mengerikan, lantaran tindakannya dapat "menyengsarakan rakyat banyak" . Kakak kandung saya yang sedang belajar di Universitas Brawijaya, ketika pulang kuliah dari dosen luar biasanya di Universitas Gadjah Mada Yogjakarta pada tahun 1977, sempat mampir ke rumah saya di Solo, dan menyampaikan kesan yang mendalam tentang perkuliahan dari dosennya begini "bangsa ini harus melindungi rakyat kecil yang jumlahnya lebih banyak dan selalu menderita oleh ulah spekulan bahan pangan, karenanya para spekulan dan penimbun pangan tersebut harus "disikat" oleh pemerintah, itulah kebijakan ekonomi (maaf kalau saya salah mendengar) wijoyonomic".
Tapi itu dulu...pernah begitu,…...........dan memang Badan Urusan Logistik (Bulog), dibentuk dengan tujuan agar para petani gurem terlindungi dari "rekayasa spekulan" yang menyebabkan terjadinya lonjakkan harga kedelai, padi dan jagung, saat musim tanam tiba, dan harga anjlok serendah-rendahnya saat musim panen tiba. Dan petani gurem, petani penggarap tinggal "gigit jari", lalu utang lagi, utang lagi, untuk membeli benih dan pupuk, sementara harga jual penennya tidak mampu melunasi seluruh hutangnya alias "tekor".
Kalau petaka seperti di atas justru terjadi di saat sekarang, maka Pak Ustads di kuliah Subuh berkata bahwa Rosul berpesan ; "kalau hari ini keadaannya lebih jelek dari hari kemarin,…maka mereka berada dalam keadaan merugi, seharusnya hari esok harus lebih baik dari hari ini, dan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin". Naah,…..saya makin terkejut, dengan ulah petani kedelai di Demak atau sekitarnya, yang membakar sendiri hasil panen kedelainya lantaran harga di pasaran yang cuma "enam ribu rupiah" per kilo, jauh di bawah dari ongkos produksinya. Jengkel dengan kenyataan ini, mereka tega membakar bahan pangan yang sedang langka di pasaran. Kejengkelan para petani dan masyarakat kecil pengkonsumsi kedelai (tahu dan tempe) memang harus segera diakhiri, tidak hanya dengan "kata-kata", akan tetapi dengan fakta dan realita, agar tetap "dapat dipercaya", dan sokur-sokur ada yang digugu dan ditiru !!
Mudah-mudahan pak Polisi kita dapat menemukan lagi gudang-gudang penimbunan bahan pangan lain, sehingga tidak keduluan oleh ulah spekulan penimbun bahan pangan, dengan cara mengalihkan ke tempat persembunyian lain. Pengalaman saya di tahun 1967-1968 saat menjadi aktivis Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) komisariat SMA Negeri 1 Kediri, direkrut oleh pihak "yang berwenang saat itu", untuk bersama-sama mengikuti operasi penggeledahan gudang-gudang bahan pangan milik cukong spekulan/penimbun beras di kota Kediri. Hasil penggerebegan sungguh mengecewakan saya dan teman-teman avtivis KAPPI, karena tak sebutir beras pun ditemukan di dalam gudang pangan yang besar-besar itu. Hati saya dan teman-teman KAPPI serasa ter-"iris", melihat kenyataan di masyarakat sedang tidak ada beras (kalau ada harganya sedang melambung tinggi), sementara di gudang-gudang beras para cukong juga kosong. Mungkin rencana operasi ini sudah bocor (istilah teman saya "nggak bocor lagi, tapi sudah banjir), lalu disembunyikan dimana lagi beras-beras itu?.
Inilah perang sesungguhnya, perang informasi yang realistik, seperti sehari sebelum anak saya maju ujian skripsi yang membahas tentang diplomasi publik, Saya katakan bahwa yang dimaksud "perang" tidak hanya kekuatan senjata dalam menganeksasi atau menduduki suatu negara berdaulat yang lain saja, akan tetapi diplomasi publik dapat pula diperankan sebagai alat "perang" yang handal di era global seperti sekarang.Tak seorangpun diantara kita di Indonesia, tahu adanya kemungkinan masalah mahalnya harga kedelai, gandum (terigu) serta jagung, juga menjadi alat diplomasi publik untuk menekan bangsa ini (ingat, Uni Sovyet berantakkan antara lain gara-gara diplomasi gandum dari AS dan Kanada). Apalagi situasi saat ini kondisi dalam negeri AS sedang menghangat, mengingat salah satu calon kandidat presiden dari partai Demokrat di Amerika Serikat (AS) ada yang bernama OBAMA, dan kebetulan seorang turunan kulit hitam yang pernah tinggal di Indonesia.Terkait dengan peristiwa 11 September 2001, diperlukan penciptaan musuh bersama AS di dunia internasional, dan terpilih kambing hitamnya bernama OSAMA bin Laden. Sungguh suatu keberuntungan bagi OBAMA, karena saat tinggal di Indonesia bersama orang tuanya, dirinya tidak pernah diajak sowan menemui Susuhunan Paku Buwono XI (raja di kasunanan Surakarta Hadiningrat), sehingga tidak memiliki peluang menerima gelar kebangsawanan Raden.Kalau hal itu terjadi maka nama sang kandidat akan berubah menjadi OBAMA bin Raden, yang dalam penjungkir-balikkan politik bisa diplesetkan menjadi OBAMA bin Laden, karena musuh nomor satu AS sudah pula langsung diganti namanya menjadi OSAMA bin Raden.Permainan informasi publik (baca diplomasi publik) seperti inilah yang tidak mengherankan saya, karena lemah dan rendahnya kualitas pendidikan atau pengetahuan tentang diplomasi publik itu sendiri (terutama untuk menjadi seorang diplomat sejati melalui jalur pertama duta besar atau staf duta besar yang memiliki kekebalan dan kewenangan diplomatik ) seperti yang dicontohkan oleh adanya kebijakan Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, atau di Arab Saudi?.
Kalimat penutup tulisan ini sengaja saya beri "tanda tanya", mengingat hasil akhirnya kita semua juga belum tahu bagaimana aturannya /pengaturannya /mengaturnya, kok ada kejadian yang dianggap "aneh" terhadap perlakuan anak bangsa yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) paling tidak di dua negara tersebut.
Mari kita bersabar dan bertawakal saja, alias mengikuti rasa hormat terhadap "azas praduga tak bersalah".


Kalau kita masih percaya bahwa pemberdayaan seseorang juga ditentukan oleh fasilitasi pendidikan yang diterimanya, maka pendidikan anak bangsa memang menjadi pertaruhan masa depan bangsa itu sendiri, sehingga tidak selayaknya keberhasilan pembangunan pendidikan ditentukan oleh besaran kuantifikasi angka statistikal (seperti tingkat ketuntasan Angka Partisipasi Kasar Program Wajib Belajar Sembilan Tahun), melainkan oleh kualitas layanan yang diterima oleh setiap individu anak bangsa itu sendiri.
TKI kita harus dibekali dengan kompetensi yang memberdayakan mereka dengan pendidikan yang berkualitas, bukan dengan pemerataan pendidikan seadanya, daripada tidak di didik.
Persis seperti slogan yang menyakitkan hati saya (sebagai seorang Guru yang belum mau berhenti mendidik) "pokoknya sekolah sajalah, daripada tidak sekolah!.
Ha?,........................ya ampuun hampir 68 tahun merdeka masih mendaruratkan pendidikan bangsanya??.

Janganlah kita berpura-pura bodoh "seperti saat tempe ditempo (ditimbun dalam gudang)" lalu dipindahkan ke tempat lain oleh penimbunnya, kemudian saat penggrebegan dilakukan, sang cukong penimbun justru bernyanyi ria dengan syair lagunya;
" Oo...kamu ketahuan, ...
mau nggrebek gudang,...
tapi sayangnya kamu ...
tak punya kemampuan,...
untuk menangkap informasi,...
karena gudang...
sudah kukosongkan".
Pak Polisi, jangan patah semangat...kalau "narkoba" yang beromset trilyunan rupiah mampu diobrak abrik sindikasinya, mengapa kedelai, terigu, jagung (yang notabene jauh lebih besar secara fisik dibanding narkoba) nggak bisa diobarak abrik sindikasi penimbunannya?.
Walau ada realita yang lebih menyakitkan juga ada, seperti kayu glondong kan lebih besar dari bahan pangan, baik nilai rupiahnya maupun wujud fisiknya, tapi kok hutan belantara Kalimantan, Sumatera "gundul di tengah-tengahnya, akibat pembalakkan liar" nggak ketahuan dimana singgasana pelakunya ya?.
Ayo kita bersama belajar dan belajar terus, agar menjadi hamba Tuhan yang "pinter, tapi tidak minterin (membodohin) bangsanya sendiri, tapi pinter memposisikan diri agar bermanfaat hidupnya untuk kemaslahatan hamba Tuhan yang lain.
Amien.

Friday, December 14, 2007

PENDIDIKAN HUMANIS

Sistem Pendidikan Indonesia sedang berproses menuju cara pandang baru (New Paradigm) yang lebih humanis (dengan mengedepankan hak-hak pembelajar) serta lebih demokratis, namun sekaligus juga lebih berorientasi pada perkembangan ICT (Information-Communication and Technologie).Soedjatmoko, sebagai tokoh Humanitarianisme, dalam S.Masruri (2005), mengungkapkan ; perlunya kita semua menghindari ekses moral dari tekanan ICT yang hampir tak terkendali, dengan cara melibatkan banyak pihak yang peduli (kaum agamawan dan kaum budayawan) untuk secara bersama membangun sistem pendidikan yang didinginkan.Melalui sistem pendidikan yang seperti itu diharapkan manusia dan masyarakat Indonesia terdidik, akan menjadi manusia yang “serba tahu” (well informmed) , memiliki komitmen yang tinggi (well commited), yang mampu menerapkan long life learning disertai kesadaran yang tinggi tentang keadilan sosial.
Untuk mewujudkan upaya pembaharuan sistem pendidikan yang humanis, menuntut berbagai pendekatan inovatif untuk memperluas proses belajar yang mampu menembus “tembok besar konvensional”. Patut disayangkan bahwa dari beberapa dekade pembangunan pendidikan kita di tanah air, “kekurangan” (kalau tidak mau disebut kegagalan) justru terletak pada ketidakpercayaan masyarakat itu sendiri untuk ikut berpartisipasi dalam program dimaksud. Contoh kasus sebagai indikasi adanya bukti terhadap hal ini ditayangkan oleh media televisi kita di minggu kedua bulan Desember 2007, “adanya sekelompok masyarakat yang secara bersama dan beramai-ramai merusak gedung sekolah” dan notabene gedung sekolah tersebut justru dibangun dari dana masyarakat itu sendiri (APBD). Mereka seolah tak merasa ikut memiliki proses pendidikan yang berlangsung (sense of belonging), padahal bukan tidak mungkin anak-anak mereka sendiri ada yang menjadi peserta didik dari sekolah yang dirusaknya.Tantangan dari proses belajar masyarakat terhadap “perubahan” dapat ditengarai antara lain “tertutupnya kesediaan diri untuk menerima perubahan” (tidak munculnya hasrat untuk berubah), rendahnya komitmen terhadap adanya perubahan, serta rendahnya keterlibatan masyarakat terhadap program perubahan (sense of responsibility).Oleh karenanya proses belajar sosial kemasyarakatan yang harus diprioritaskan sebagai WAJAH BARU KEBIJAKAN PENDIDIKAN KITA adalah kebijakan publik yang mengedepankan INOVASI SOSIAL dan PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, sehingga menemukan hal-hal baru bagi upaya nyata KELUAR DARI JEPITAN KEMISKINAN.Patut dicermati pemikiran yang mencerdasi dan mengkritisi masalah ini, dengan pernyataan bahwa “salah satu ciri utama dari model pembangunan pada beberapa dekade terakhir adalah BERKEMBANGNYA KEYAKINAN DIRI DARI MEREKA YANG SECARA TRADISIONAL TIDAK BERDAYA DAN TERSINGKIR KARENA PROSES PERUBAHAN (PEMBANGUNAN) ITU SENDIRI.Mengapa demikian, karena “semua upaya perubahan (pembangunan) tidak akan membawa manfaat jangka panjang TANPA PEMECAHAN MASALAH KEMISKINAN ITU SENDIRI”.
Ini mungkin simpul-simpul akhir dari esensi pendidikan humanis, yang berupaya memberdayakan manusia secara manusiawi agar menjadi manusia sesungguhnya (seutuhnya), karena pastilah Tuhan tidak menciptakan hambaNya untuk teraniaya, apalagi oleh suatu sistem yang dibuat oleh hambaNya yang lain.Kita memang membutuhkan suatu sistem pendidikan yang berpihak pada kebutuhan kemanusiaan, yaitu manusia berdaya. Manusia yang mampu melawan segala upaya yang memperdaya dirinya dari kesejahteraan sosial, kesejahteraan moral dan kesejahteraan spiritualnya.Dengan “bersama” semoga harapan kemanusiaan tersebut, bukanlah utopia!.Bukankah Tuhan Maha Tahu atas keinginan hambaNya?.
Jakarta, bulan akhir tahun 2007.
Salam saya
DS

Friday, April 27, 2007

BLOG SERUPA yang dapat dibuka

Untuk memperoleh tulisan serupa Anda dapat membuka 3 blog berikut :

http://deesetia.blogspot.com/
http://darsetiaw.blog.com/
http://edukasipress.wordpress.com/

Terima Kasih

Darsana Setiawan

Wednesday, April 18, 2007

PRAKATA

PRAKATA
Blog ini dibuat menjadi suatu langkah awal melakukan e-komunikasi untuk bertukar pengalaman tentang rumah pendidikan sekolah kita.
Apapun yang dapat kita kontribusikan melalui jalur blog/weblog ini, akan menjadi ladang pembelajaran bersama, dan muara akhirnya adalah kondisi yang lebih baik bagi masa depan generasi kita mendatang melalui pendidikannya.
Mulailah dari diri sendiri, sekarang juga klik! dan kalau mengandung kekurangan atau kesalahan, mari bersama kita perbaiki dan sempurnakan!
Salam guru,
Jakarta, 18 April 2007
Darsana Setiawan

UJIAN NASIONAL SLTA 2007

Sejak kemarin, Selasa 17 April 2007 Ujian Nasional (UN) untuk SLTA (SMA dan SMK serta MA dan MAK) telah mulai dilaksanakan, dan akan berakhir Kamis 18 April 2007. Para peserta didik yang mengikuti kegiatan UN tersebut tentu sedikit "gusar atau stress" dan ini adalah normal.
Menghadapi Ujian Akhir seperti UN bila tidak memunculkan sedikit kegusaran, justru menjadi pertanyaan diri sendiri. Banyak kemungkinan terjadi manakala menghadapi UN justru tidak ada respon "sedikit kegusaran", salah satunya yang menarik adalah karena UN memang tidak lagi menarik minat peserta didik kita untuk unjuk potensi diri melalui alat ukur STANDAR MINIMAL NASIONAL, karena sehari-harinya telah menggunakan STANDAR NASIONAL/ INTERNA-SIONAL YANG LEBIH TINGGI. Banyak sekolah memberikan pengayaan belajar dengan berbagai metode pembelajaran termasuk "drilling" soal-soal selama beberapa bulan menjelang tibanya jadwal UN. Bahkan sekolah-sekolah "bagus"di ibukota sampai berani mengorbankan pembelajaran mata pelajaran NON UN, hanya untuk memaksimalkan hasil UN.
Namun, bila yang terjadi adalah hilangnya motivasi peserta didik (sehingga tidak ada kegusaran kecil /stress ringan saat mengikuti UN karena merasa tidak akan lulus), maka kejadian seperti ini akan menjadi pekerjaan tersendiri bagi para teman-teman Guru di sekolah, terutama dalam kinerja profesi "kesiapan diri mengikuti UN" bagi para peserta didiknya.

Pengamatan saya yang lebih menarik dalam pelaksanaan UN 2007 saat ini, justru kejadian luar biasa (KLB) dari UN, seperti "adanya statemen Mendiknas di media elektronik kemarin, bahwa pelaksanaan UN di Ngawi Jawa Timur mengalami bencana kebocoran, dan Kepala Sekolah (KS) salah satu SMK yang mencuri naskah UN sebagai dokumen negara tersebut harus diusut oleh yang berwajib. Komentar saya tentang hal ini adalah : TAHUN LALU DIKABARKAN TERJADI KEBOCORAN UN DI CILEGON BANTEN DAN SEKARANG DI JAWA TIMUR, MAKA KE DEPAN SEBAIKNYA ADA UJI KOMPETENSI PERILAKU DAN KEPRIBADIAN GURU (KS adalah jabatan tambahan bagi seorang Guru). Profesi Polisi juga mengalami hal serupa seteleh ditemui di berbagai daerah adanya Polisi yang menembak Polisi.
Yang jelas peristiwa kebocoran UN telah menjadi komoditas informasi yang dapat menurunkan akutabilitas publik terhadap proses standarisasi kompetensi peserta didik di sekolah.
Pencurian naskah UN adalah pencurian terhadap dokumen negara, dan sudah seharusnya ditindak lanjuti secara serius , dan proses hukumya/hukumannya di sampaikan secara terbuka kepada publik/stake holder, agar dapat diketahui dan dipahami, sehingga "JANGAN MAIN-MAIN DENGAN DOKUMEN NEGARA-UN".

BAIK PERISTIWA KEBOCORAN UN MAUPUN PERISTIWA PENEMBAKAN ANTAR POLISI BAHKAN PERISTIWA PESAWAT TERBANG JURUSAN JAKARTA MAKASSAR TAPI LANDING DI PULAU NUSA TENGGARA, TERNYATA BERMUARA PADA MASALAH YANG SAMA YAITU "PROFESIONALISME" .
Kalau begitu komentar berikutnya adalah pembenahan kurikulum(standar Isi dan Standar Kelulusan), Standar sarana prasarana, Standar pengelolaan/manajemen sekolah, Standar pembiayaan itu penting, akan tetapi lebih penting lagi Standar Tenaga Pendidiknya, karena sebagus apapun standar-standar yang lain, membuminya dalam layanan fasilitasi kepada pembelajar akan sangat bergantung pada sang Guru "MAN BEHIND THE GUN"
Mari kita lebih berhati-hati dalam menerapkan Uji Kompetensi untuk Guru-guru kita yang harus DIBERDAYAKAN, sehingga jangan sampai yang terjadi justru DIPERDAYA.
Salam Guru,

Jakarta, 18 April 2007

DS