Wednesday, April 18, 2007

UJIAN NASIONAL SLTA 2007

Sejak kemarin, Selasa 17 April 2007 Ujian Nasional (UN) untuk SLTA (SMA dan SMK serta MA dan MAK) telah mulai dilaksanakan, dan akan berakhir Kamis 18 April 2007. Para peserta didik yang mengikuti kegiatan UN tersebut tentu sedikit "gusar atau stress" dan ini adalah normal.
Menghadapi Ujian Akhir seperti UN bila tidak memunculkan sedikit kegusaran, justru menjadi pertanyaan diri sendiri. Banyak kemungkinan terjadi manakala menghadapi UN justru tidak ada respon "sedikit kegusaran", salah satunya yang menarik adalah karena UN memang tidak lagi menarik minat peserta didik kita untuk unjuk potensi diri melalui alat ukur STANDAR MINIMAL NASIONAL, karena sehari-harinya telah menggunakan STANDAR NASIONAL/ INTERNA-SIONAL YANG LEBIH TINGGI. Banyak sekolah memberikan pengayaan belajar dengan berbagai metode pembelajaran termasuk "drilling" soal-soal selama beberapa bulan menjelang tibanya jadwal UN. Bahkan sekolah-sekolah "bagus"di ibukota sampai berani mengorbankan pembelajaran mata pelajaran NON UN, hanya untuk memaksimalkan hasil UN.
Namun, bila yang terjadi adalah hilangnya motivasi peserta didik (sehingga tidak ada kegusaran kecil /stress ringan saat mengikuti UN karena merasa tidak akan lulus), maka kejadian seperti ini akan menjadi pekerjaan tersendiri bagi para teman-teman Guru di sekolah, terutama dalam kinerja profesi "kesiapan diri mengikuti UN" bagi para peserta didiknya.

Pengamatan saya yang lebih menarik dalam pelaksanaan UN 2007 saat ini, justru kejadian luar biasa (KLB) dari UN, seperti "adanya statemen Mendiknas di media elektronik kemarin, bahwa pelaksanaan UN di Ngawi Jawa Timur mengalami bencana kebocoran, dan Kepala Sekolah (KS) salah satu SMK yang mencuri naskah UN sebagai dokumen negara tersebut harus diusut oleh yang berwajib. Komentar saya tentang hal ini adalah : TAHUN LALU DIKABARKAN TERJADI KEBOCORAN UN DI CILEGON BANTEN DAN SEKARANG DI JAWA TIMUR, MAKA KE DEPAN SEBAIKNYA ADA UJI KOMPETENSI PERILAKU DAN KEPRIBADIAN GURU (KS adalah jabatan tambahan bagi seorang Guru). Profesi Polisi juga mengalami hal serupa seteleh ditemui di berbagai daerah adanya Polisi yang menembak Polisi.
Yang jelas peristiwa kebocoran UN telah menjadi komoditas informasi yang dapat menurunkan akutabilitas publik terhadap proses standarisasi kompetensi peserta didik di sekolah.
Pencurian naskah UN adalah pencurian terhadap dokumen negara, dan sudah seharusnya ditindak lanjuti secara serius , dan proses hukumya/hukumannya di sampaikan secara terbuka kepada publik/stake holder, agar dapat diketahui dan dipahami, sehingga "JANGAN MAIN-MAIN DENGAN DOKUMEN NEGARA-UN".

BAIK PERISTIWA KEBOCORAN UN MAUPUN PERISTIWA PENEMBAKAN ANTAR POLISI BAHKAN PERISTIWA PESAWAT TERBANG JURUSAN JAKARTA MAKASSAR TAPI LANDING DI PULAU NUSA TENGGARA, TERNYATA BERMUARA PADA MASALAH YANG SAMA YAITU "PROFESIONALISME" .
Kalau begitu komentar berikutnya adalah pembenahan kurikulum(standar Isi dan Standar Kelulusan), Standar sarana prasarana, Standar pengelolaan/manajemen sekolah, Standar pembiayaan itu penting, akan tetapi lebih penting lagi Standar Tenaga Pendidiknya, karena sebagus apapun standar-standar yang lain, membuminya dalam layanan fasilitasi kepada pembelajar akan sangat bergantung pada sang Guru "MAN BEHIND THE GUN"
Mari kita lebih berhati-hati dalam menerapkan Uji Kompetensi untuk Guru-guru kita yang harus DIBERDAYAKAN, sehingga jangan sampai yang terjadi justru DIPERDAYA.
Salam Guru,

Jakarta, 18 April 2007

DS

51 comments:

--tyaaaa--- said...

Saya sependapat dengan apa yang bapak tulis. Ketika pemerintah disibukkan dengan perbaikan sistem, mengapa tidak terpikirkan tentang perbaikan SDM?. SDM yang mengarah pada profesionalisme pribadi dapat menjadi hambatan dalam pengembangan sistem pendidikan kita. Ketika SDM belum atau bahkan tidak memiliki profesionalisme pribadi sulit untuk menjalankan sistem sesuai dengan peraturan yang telah di tetapkan. salah satu contohnya adalah UN yang seharusnya diwarnai dengan sikap jujur dan adil malah diwarnai dengan sikap indisipliner yang justru dilakukan oleh guru atau pihak sekolah yang seharusnya menjaga profesionalitasnya sebagai pendidik.

fisika tarbiyah said...

yanti : 2004 sebelum saya menghadapi UN, ibu saya sangat khawatir dan menawarkan kepada saya untuk membeli bocoran soal-soal UN dari seorang KS yang kebetulan tinggal disebelah rumah saya. ketika itu saya berpikir kalau semua orang tua berpikir seperti itu apa sebenarnya tujuan diadakan UN: apakah hanya untuk menambah penghasilan seorang SK?. kemudian melihat apa yang telah dilakukan seorang KS saya juga jadi bertanya-tanya apakah KS itu tidak tahu atau pura-pura tidak tahu atau pura-pura tidak tahu tujuan UN yang sebenarnya?apakah hanya sebatas itu keimanan dan keprofesionalan seorang KS?kalau demikian adanya maka menurut saya yang harus segera dibenahi adalah keimanan setiap individu terutama generasi muda penerus bangsa yang terkait dengan pendidikan.sekian.

peri_ichi said...

menurut saya perlu adanya pembelejaran kembali.
maaf pa, sekarang ini banyak guru yang merasa bahwa gaji masih di bawah standar, sehingga sang guru tidak dapat sepenuhnya mengajar. banyak guru-guru yang melakukan pekerjaan sampingan hanya untuk menutupi kebutuhan perekonomiannya. sehingga terkadang terdapat sebagian guru yang melakukan hal-hal yang salah seperti membocorkan rahasia ujian, semata-mata hanya demi uang. akan kah lebih baik jika pemerintah dapat mempertimbangkannya!

peri_ichi said...

bapa tolong buka blog saya juga ya!
http://www.periichi.blogspot.com
judul blog nya fisika qu

ENCIH SUWARSIH said...

menurut salah satu pembesar agama islam di negara kita "jika kita ingin mensolehkan negara maka solehkan dulu wrganegaranya." maksud saya jika kita ingin UN ini sesuai dengan apa yang diinginkan maka sebaiknya marilah kita mkencangkan ikat pinggang kita bersama, jalin kerhasama dan informasi yang baik dengan semua instansi pemerintah agar semua berjalan sebagaimana mestinya. keprofesionalan seseorang bergantung pada dirinya sendiri yang dibalik itu semua, keimanan dan ketaqwaanya terhadap Tuhan YME lah yang menjadi pondasi utamanya.

ENCIH SUWARSIH said...

pak bales ke email saya ya : esh_fisikaUIN@plasa.com dan sh_enchie@yahoo.com dan ini alamat blog saya www.encih.blogspot.com

yuslina tarbiyah said...

maaf pak

yuslina tarbiyah said...

menurut saya pendapat bapak kurang begitu baik karena bapak hanya menjelaskan kegelisahan para guru dan siswa dalam menghadapi ujian nasional.karena hal yang sebenarnya adalah bagai mana kita menciptakan suasana yang baik agar siswa mampu melaksanakan UN dengan lancar.karena menurut saya bapak seharusnya menjelaskan bagaimana trik yang baik dalam menghadapi ujian nasional.sehingga generasiselanjutnya tidak lagi takut menghadapi UN dan justru senang dan siap menerimanya.

yofa dinariska said...

menurut paham saya, saya setuju jika dikatakan kata kunci dari semua permasalahan dalam UN ini adalah sebuah kata "profesionalitas".mungkin bocornya soal UN yang dilakukan oleh GURU (sang pendidik)itu karena beliau berusaha dengan cara apapun agar siswanya dapat lulus dan nama sekolah tidak tercemar tanpa memikirkan profesionalismnya sebagai GURU, seharusnya GURU tidak hanya memikirkan bagaimana cara mendapatkan bocoran soal tetapi bagaimana agar siswanya dapat lulus dengan hasil kemampuan akademiknya sendiri dan tentunya hal inipun dapat mengajarkan siswanya untuk bersikap sportif...inget lho biasanya tingkah laku orang dewasa itu sering ditiru oleh orang yang lebih muda.....

yu2n herian said...

saat-saat dunia telah terpuruk seperti sekarang ini bapak memberikan tanggapan atau masukan yang baik tentang pendidikan. saya sangat setuju dengan apa yang telah bapak utarakan bahwa ujian nasional yang telah ber langsung harus harus dijalankan dengan baik dan tanpa adanya unnsur korupsi pada dunia pendidikan. dunia pendidikan dibangun dari kurikulum dan metode yang baik dalam menciptakan kualitas pendidikan yang baik. maka akan dihasilkan siswa yang berkualitas baika juga dansiswa-siswa menjadi lebih kreatif dan inofatif.

Pendidikan Fisika said...

Sri Mulyani: Menurut saya artikel yang bapak buat lumayan bagus. Bagi anak-anak yang akan mengikuti UN seharusnya jangan merasa stress, soalnya kalau merasa stress mereka tidak akan maksimal untuk mengisi soal ujian. Jangankan sekolah berstandar nasional maupun internasional yang menurut mereka UN tidak menarik lagi, sekolah yang bukan nasional maupun internasional masih banyak yang beranggapan bahwa UN tidak menarik lagi. karena mereka beranggapan mengapa kelulusan hanya ditentukan oleh tiga mata pelajaran, padahal bisa jadi anak yang tidak lulus itu bukannya bodoh tetapi banyak faktor lain yang menggangunya seperti grogi atau stress menghadapi soal ujian. Bagi Depdiknas agar berhati-hati menyimpan naskah-naskah yang penting. Selain itu juga depdiknas jangan mau menerima sogokan atau apapun dari orang-orang yang memanfaatkan kesempatan. saya sangat setuju kalau ada yang mencuri soal UN ditindak lanjuti dengan serius, tidak memandang dia siapa atau jabatannya apa, karena keadilan harus ditindaklanjuti, dan karena ini menyangkut masalah profesionalisme. Saya sangat setuju sekali kalau diadakan uji kompetensi dan perilaku guru, agar para guru-guru tidak bertindak seenaknya. Selain guru, para pejabat negara pun seharusnya ada uji kompetensi perilaku dan kepribadian, agar tidak banyak pejabat negara yang korupsi. Saya juga sangat setuju sebagus apapun standar isi, kurikulum,dan standar-standar yang bagus lainnya. kalau gurunya tidak berperan aktif standar-standar yang bagus itupun tidak akan terlaksana.

Pendidikan Fisika said...

Pak bales email saya ke
uin_fisika@yahoo.co.id
sri86_brz@yahoo.co.id
dan ini alamat blog saya
http://srifisika.blogspot.com

fahmi said...

ahmad fahmi:
menurut saya UN kali ini lebih baik dari UN tahun kemarin. karena kelulusan siswa tidak hanya dilihat dari standar kelulusan saja tetapi juga dilihat dari nilai rata-rata ujian UN, nilai mata pelajaran yang diujikan diluar mata pelajaran yang diujikan, dan dilihat dari nilai-nilai selama proses belajarnya disekolah. dengan hal itu kelulusan seorang anak tidak hanya dilihat dalam waktu 2 jam, ketika anak tidak lulus dalam satu mata pelajaran UN maka bisa dipertimbangkan kelulusannya dengan nilai yang lain. selain itu kegelisahan pun ada pada anak-anak karena soal tiap anak yang diberikan berbeda-beda. mari kita lihat keuntungan positif UN!

Unknown said...

hm...ujian nasional atau UN adalah hal yang membuat adik saya sedikit stress, secara dia sekarang kelas IX di MTsN, tapi ketegangan yang dialami oleh angkatan th ini biasa saja dibanding dengan th 2004 lalu, ketika untuk pertama kalinya pemerintah menetapkan standar internasional untuk nilai kelulusan UN, spontan saja seluruh teman-teman seangkatan saya mengalami sedikit guncangan mental, kami pun berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan nilai sesuai standar kelulusan, al hasil hanya 2 orang saja dari sekolah kami yang tidak lulus.
kemudian masalah kebocoran soal UN merupakan hal sangat mengkhawatirkan, bagaimana bisa seorang guru menjadi figure yang sangat bobrok mentalnya, padahal guru adalah tauladan bagi murid-muridnya, bagaimana nasib SDM selanjtnya bila yang menjadi pendidiknya adalah orang yang kurang profesinal?!banyak yang mengatkan jika kebocoran UN oleh guru itu disebabkan karena minimnya pengahsilan guru, itu merupakan alasan yang tidak ilmiah, pasalnya ini bukan urusan tinggi atau rendahnya gaji, tapi hal ini adalah berkaitan akhlak seorang guru sebagai figure yang di contoh oleh peserta didiknya. semoga kejadian ini tak kan terulang lagi, dan ada baiknya pemerintah menetapkan standar yang tinggi dalam hal profesionalisme guru, bukan hanya guru yang kompeten saja yang dibutuhkan bangsa ini melainkan juga para pendidik yang memiliki akhlak mulia.terima kasih, semoga komentar saya ini berguna

Unknown said...

pak tolong buka blog saya
maubelajarbersama.blogspot.com dan tolong kirim balasan ke nurrul.fajriah@gmail.com

Unknown said...

maaf pak blognya salah alamat blog saya itu maubelajarbareng.blogspot.com dan mediabelajarku.blog.com

N'cUyaNi said...

SURYANI:
Sebenarnya segala bentuk "ketidakberesan" menjelang UN seperti yang Bapak ceritakan, diantaranya kebocoran UN di Banten tahun lalu, sekarang di Jawa Timur, bahkan yang lebih parah lagi di Ngawi, seorang KEPALA SEKOLAH NEKAT MENCURI NASKAH UN, hal itu sangatlah jelas menunjukkan bahwa negara kita sangatlah belum siap mengikuti sistem kelulusan dengan menerapkan nilai standar kelulusan yang lebih dulu telah diterapkan oleh negara-negara lain.
Karena takut dianggap ketimggalan, negara kita "ikut-ikutan" menerapkan standar nilai kelulusan tanpa melihat kesiapan sipeserta didik dan sipendidik itu sendiri. sehingga terkesan "memaksakan diri".
Hasilnya??? Ya....bisa kita lihat sendiri:-)

Syilvi said...

Sejak tahun 2004 pemerintah menerapkam standar minimal UN,dan dari tahun ke tahun batas minimal itu semakin tinggi. Hal itu mengakibatkan kecemasan di hampir setiap tingkatan sekolah di Indonesia. Tidak hanya siswa, orang tua serta guru juga merasakan hal yang sama. sebab jika ada siswa disuatu sekolah tidak dapat menembus ujian nasioanal hal ini juga akan berakibat pada sekolah. kredibilitas sekolah akan disangsikan. oleh karenanya pihak sekolah berusaha sekeras mungkin agar siswa dapat menembus UN. hal tersebut merupakan langkah baik yang ditempuh guru sebagai wujud profesionalitasnya. Tetapi disamping semua usaha tersebut banyak hal-hal yang negatif yang mereka lakukan demi mencapai target yang ditetapkan. hal ini dapat dilihat dari kebocoran soal pada saat UN beberapa minggu yang lalau. hal ini diekspose di hampir semua media.
Saya sangat setuju dengan tulisan bapak, bahwasanya semua hal ini bersumber pada "profesionalitas". Jika hal teersebut terulang terus-menerus dapat di pastikan bahwa hasil UN siswa merupakan hasil yang tidak terjamin kualitasnya.

Iis said...

# iis hidayati #
Menurut saya Artikel bapak cukup bagus sebab kita ketahui bersama bahwa UN SLTA sekarang begitu menegangkan dan membuat anak stress coba bayangkan jika tiap tahun UN dinaikkan rata ratanya apa yang akan terjadi pada peserta didik meskipun mereka sudah mempersiapkannya sebelum UN maka jumlah pengannguran yang ada di In donesia semakin banyak memang sih ada positifnya tetapi ada juga negatifnya yaitu membuat anak gusar dan stress.oleh karena itu sesuatu harus di dasari dari keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah swt.dan pemerintah juga harus lebih mmeperhatikan pendidikan yang baik untuk masa yang akan datang.

astrijanuarti said...

Astri Januarti :
Menurut saya tentang hal ini adalah ujian nasional sebagai evaluasi proses belajar mengajar yang hanya menyajikan tiga mata pelajaran tidak mengenai evaluasi belajar karena siswa akhirnya di ajarkan bukan untuk belajar apa yang diajarkan. tetapi belajar apa yang akan diujikan. ujian nasional yang seharusnya menjadi alat penyaring kelulusan seorang siswa kenyataanya tidak dapat diandalkan sebab dalam pelaksanaanya banyak terjadi kecurangan dan kebocoran soal dalam soal ujian nasional.

wie2d said...

pak mohon untuk membuka weblog saya di http://wie2d-serbaserbi.blogger.com
Matur Nuwun (terima kasih) tas perhatiannya pak.

siti hodijah said...

Menurut pendapat saya yang harus kita benahi adalah sistem pembelajaran yang ada dinegara kita.Karena negara kita adalah negara yang terkenal dengan negara korupsi maka seharusnya pemerintah jangan menggunakan standar kelulusan sebagai patokan bahwa anak didik itu lulus atau tidaknya,karena dengan adanya sistem seperti ini korupsi yang ada dinegara kita akan semakin merajalela karena disini akan dipertaruhkan jual-beli kunci jawaban soal-soal yang akan di UN kan.Inilah yang menyebabkan terjadinya kebocoran soal-soal UN

habibah said...

Habibah :
Sebenarnya tujuan pemerintah baik untuk memperbaiki sistem pendidikan di negara ini, namun niat baik tersebut tidak dibarengi dengan perbaikan kualitas peserta didik dan pendidik. Hal ini terlihat ketika Ujian Nasional, arena ini menjadi menyeramkan dan bukan sesuatu yang dinantikan, karena bukan saja siswa yang stress tapi guru juga dibuat pusing memikirkan kelulusan siswa, sampai-sampai terjadi kucing-kucingan antara guru dan siswa untuk mendapatkan kunci jawaban. memang sungguh ironis kelulusan siswa hanya ditentukan dalam waktu 3 hari !!!
Menurut saya kurangnya motivasi yang diberikan kepada para siswa, dapat menumbuhkan mental-mental yang lemah dan mudah menyerah.
Hanya guru yang memiliki idealisme yang tinggi dan memegang sebuah prinsiplah yang tidak akan melakukan semua ini ( Memberi jawaban kepada siswa). karena tugas guru bukanlah menyulap siswa bodoh menjadi pintar melalui jalan pintas seperti ini, agar tidak timbul koruptor-koruptor baru dari dunia pendidikan di negara ini, tetapi tugas guru adalah memberikan pendidikan terbaik dengan contoh.
pesan terakhir marilah kita perbaiki pendidikan ini secara bersama, jangan hanya berdemo untuk kenaikan gaji, tetapi dibuktikan dengan profesionalitas guru. terima kasih untuk guru-guruku yang telah mendidik ku selama ini, semoga apa yang telah kau berikan bermanfaat dan bergunabagi diri dan semua. amiin.

wie2d said...

Dalam menghadapi ujian akhir seperti ini, tidak hanya peserta didik dan guru saja yang resah, orang tuapun ikut dibuat resah karenanya. Takut bila sang anak tidak lulus, takut bila sang anak mengalami frustasi dan bunuh diri akibat ketidaklulusannya, takut bila sang anak tidak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.Untuk menghadapi UN ini pun, tidak hanya sekolah saja yang memberikan tambahan materi (PM) dengan tujuan untuk memaksimalkan hasil UN, orangtuapun ikut repot, dengan memasukkan naknya ke dalam bimbingan belajar (bimbel) yang menajnjikan kelulusan dan hasil ujian yang baik bagi sang anak dengan metode pembelajran yang berbeda dengan yang ada di sekolah, dan memberikan smart solution untuk menylesaikan soal-soal yang terbilang rumit. Bagi siswa yg pintar, trentunya akan terpacu untuk belajar lebih giat agar mendapatkan kelulusan dan hasil yang maksimal. Tapi bagi siswa yang kurang, ia akan resah gelisah dan hanya berharap saat ujian annti ia akan mendapat bocoran/contekan. Contohnya saja terjadi di wilayah DKI Jakarta: sebelum ujian berlangsung ada seorang siswa yang mendapatkan bocoran jawaban bidang studi yg akan diujikan melalui sms. Dan setelh ujian berakhir jawabannya dicocokkan pd anak yg terbilang pintar dlm bidang studi tsb. Ternyata bocoran jwbannya cocok. Kejadian ini menggambarkan kerapuhan mental, kepribadian dan ketidakjujuran manusia dalam menjalani ujian yg menentukan masa depannya. WAlaupun segala daya dan upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kecurangan ini (misalnya saja;dgn mematikan seluruh jaringan seluler ponsel, membuat 2tipe soal,ganjil dan genap, memubuat tim-tim pelaksana ujian yg didatangkan dari luar lingkup sekolah yg bersangkutann, mulai dari guru sampai dosen sbg tim independen),tapi tetap saja kebocoran terjadi. Tentunya ada tim dibelakang kejadian ini yang menyukseskannya. Timsukse inilah yg berperan dalam melakukan tindakan untuk memanipulasi jawaban sblm sampai ke tim penilai. Sungguh patut disayangkan jk ini terjadi terus menerus maka dapat dipastikan bahwa generasi penerus kita nanti akan bermental tempe, hanay mengahrapkan uluran tangan dari orang yang berkuasa agar dpt membantunya untuk melaksanakn niatnya tanpa adanya usaha dr orang yg bersangkutan. DAn tanpa disadari bhw kita telah mengajarkan tindakan korupsi kpd generasi penerus kita. PAdahal pd akhir-akhir ini, pemerinta sdg memberantasnya. Oleh karena itu, saya amat setuju sekali jikalau program standarisasi tenaga pendidik dibenahi, yaitu dgn melakukan uji kompetensi perilaku dan kepribadian guru2 yg hrs diberdaaykan spy mjd pribadi-pribadi tangguh & bermental baja. Shg bangsa ini dpt bangkit dr keterpurukan & dpt bersaing dgn bangsa lain baik dlm hal ilmu pengetahuan & teknologi.

Wiji said...

Menurut pendapat saya jika kita mendengar dan membaca isi dari blog tersebut saya cukup prihatin, kenapa masih saja terjadi penyalahgunaan pada makna profesionalisme sebagai seorang guru, dimana guru tersebut dapat membocorkan soal UN karena itu sama saja seperti melakukan tindakan kriminal, oleh karena itu saya menyarankan kepada pemerintah terutama DEPDIKNAS agar guru-guru perlu ditambah penataran yang sifatnya lebih kepada pembangunan Moral dan Akhlak, selain dari diadakannya penataran pendidikan dan perlunya mendapat pengetahuan mengenai etika profesionalisme dikalangan kerja, dalam hal ini di dunia pendidikan.

yofa dinariska said...

bapak maaf ada sedikit tambahan pak...
jika bapak berkenan membuka blog saya ke
http://yofadinariska.blogspot.com
http://yofafisika.blogspot.com
matur suwun geh pak.....

Wiji said...

Ass, pak tolong kalau mau buka blog saya:
http://ziegreeners.blogspot.com
http://ziefisika.blogspot.com
Terima Kasih.

koe_lillah said...

lillah
Sudah sering kita mendengar, bahkan hampir setiap tahun disalah satu daerah mengalami kebocoran UN. Seperti yang saat ini terjadi pada saat pelaksanaan UN di Ngawi Jawa Timur mengalami kebocoran, kepala sekolah salah satu SMK mencuri naskah UN sebagai dokumen negara. Saya sependapat dengan bapak, hal tersebut terjadi karena uji kompetensi perilaku dan kepribadian guru yang kurang diperhatikan dan juga hukum dinegara kita yang kurang tegas, pencuri naskah UN adalah pencurian terhadap dokumen negara, dan sudah sebaiknya ditindak lanjuti secara serius dan proses hukumnya atau hukumannya disampaikan secara terbuka kepada publik, agar dapat diketahui dan dipahami bahwa "JANGAN MAIN - MAIN DENGAN DOKUMEN NEGARA - UN".

koe_lillah said...

lillah fauziah
bapak tolong balas ke email saya ya
koe_lillah@plasa.com atau
lillah_koe@yahoo.com
blog saya:
http://koelillah.blogspot.com
Makacih bapak

pendidikan said...

Heru :
Memang UAN saat ini benar - benar ketat, samapi adanya pihak kepolisian untuk mencegah kecurangan - kecurangan dalam membocorkan jawaban UAN. Tapi tetap masih ada beberapa sekolahan yang saya dengar melakukan kecurangan ini.Disini kembali dari sifat dasar manusia yaitu kejujuran dalam segala hal. iman dan takwa seseorang di uji dalam hal ini. mudah - mudahan ini tidak berlangsung lagi agar bangsa kita tidak bobrok dan pembodohan UAN.

pendidikan said...

Heru Siswoko :
Pak saya Maminta balasan ke heru_light.proses_pendidikan@blogger.com
Herulight.blogspot.com
heru_light@yahoo.com

misbah said...

Oleh: Misbahudin
104 016 300 475
pendidikan Fisika 6
Komentar atas tulisan Bapak Darsana Setiwan
tentang UN SLTA

Bila saya baca sekilas tulisan bapak Darsana Setiawan, saya melihat bahwa bapak adalah termasuk salah satu orang yang setuju dengan adanya UN dengan setndarisasi nilai minimal nasional. Mungkin juga dikarenakan Bapak adalah salah satu orang Departemen Pendidikan Nasionl.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa dalam kehidupan pasti ada yang namanya perbedaan pendapat. Dan perbedaan pendapat antara Bapak dengn saya adalah bahwa saya adalah salah satu orang yang kurang setuju dengan adanya UN dengan standar Minimal Nasional. Ketidak setujuan saya tentunya ada alasan dan rasionalisasinya tersendiri, sebagai mana adanya alasan dan rasionalisasi yang membuat bapak setuju dengan UN dengan standar Minimal Nasional. Dan yang jelas insyaAllah tujuan bapak adalah baik yaitu memajukan pendidikan nasional.
Kalau saya boleh berpendapat, UN dengan standar Minimal nasional belum tepat diterapkan di Indonesia atau lebih bijaknya hanya baru bisa diterapkan disekolah-sekolah tertntu saja. Saya katakana demikian karena saya melihat masih banyak sisi dalam pendidikan kita yang msih perlu dibenahi ketimbang hanya pusing memikirkan masalah standarisasi nilai saja. Saya mengemukakan pendapt seperti ini bukan berarti saya tidak setuju seratus persen dengan UN standar minimal nasional, tetapi saya hanya mengatakan belum tepat diterapkan di Indonesia.
Sebenarnya UN dengan standar Minimal nasionl itu merupakan usaha baik dari Departemen pendidikan Nasional. Namun pertanyaan saya sekarang “apakah dalam memutuskan system UN dengan standar nasional tersebut telah mengakomodir pendapat dari semua kalangan yang dalam hal ini adalah siswa maupun wali siswa, sehingga menjadi keputusan bersama yang bisa diterima semua pihak baik siswa, wali siswa, maupun pemerintah (DIKNAS) dengan segala kesiapan dan konsekwensinya?. Atau jangan-jangan keputusan ini merupakan keputusan sepihak tanp melihat realitas social masyarakt Indonesia. Kenyataannya bisa kita lihat banyak sekolah-sekolah baik di Desa maupun di Kota yang ternyata belum siap untuk diterpkannya UN dengn standar Minimal nasionl tersebut.
Adanya kasus kebocoran soal yang merupakan dokumen Negara adalah suatu bukti ketidak siapan banyak sekolah. Ditambah lagi dengan adanya sekolah di Jakarta yang rela mengorbankan mata pelajaran lain hanya demi mata pelajran yang akan di UN kan juga merupakan belum tepatnya system Standar Mnimal Nasional diterapkan di Indonesia.
Kurangnya kesiapan banyak sekolah baik di Desa maupun kota tentunya dikarenakan banyak sebab seperti masalah struktur dan infrastruktur yang masih belum beres sampai maslah mahalnya biaya pendidikan. Namun yang paling menjadi masalah menurut saya adalah masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Mungkin bias saja di sekolah yang isinya anak-anak orang kaya diterapkan standar nilai tertentu karena memang semua yang berhubungan dengan kegiatan belajr mengajar mendukung, ditambah kondisi sisiswa yang tidak memikirkan yang lain selain belajar. Tapi bagaimana mungkin dengan simiskin yang harus fikirannya terbagi antara belajar dan mencari tambahan untuk biaya mahalnya pendidikan. Kapan mereka harus belajar dengan serius padahal banyak anak-anak yang setelah sekolah langsung mencari tambahan untuk biaya pendidikan dan sampai malam pula.
Perlu kita sadari bersama bahwa di Indonesia telah terjadi kapitalisasi pendidikan. Pendidikan seperti diperjual belikan, sehingga menjadi mahal. Akibat dari ini muncul stigma negative dari sebagian orang bahwa pendidikan hanya milik orang kaya alias orang miskin dilarang sekolah. Padahal pendidikan merupakan hak azasi manusia yang harus diterima olah setiap orang. Pendidikan juga merupakan kekuatan pembebas (liberating force) yang membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, penindasan, kapitalisasi dll, sehingga pendidikan harus digratiskan.
Dan masalah kurangnya profesionalisme para guru seperti yang ditemukakan oleh bapak, memang demikian adanya. Namun demikian lagi-lagi untuk solusi masalah itu perlu ada keseriusan pemerintah terutama dalam masalah perbaikan struktur dan infrastruktur pendidikan juga menejemen yang bagus dan juga pelatihan guru berkualitas dengan biaya yang sangat murah. Pemerintah juga harus memperhatikan guru yang benar-benar ikhlas yang rela berjalan dua kilo hanya untuk mengajar anak-anak di Daerah pelosok tanpa gaji sepeserpun. Pemerintah juga harus memperhatikan anak-anak negeri yang rela belajar dan dijar ruang tanpa dinding dan atap hanya demi keingunannya untuk pintar. Kalau semua ini bisa diatasi, maka saya setuju dengan diterapkannya UN dengan Standar Minimal Nasional dengan standar nilai tertentu.
Dikhawatirkan dengan ditetapkannya Standar Nilai Nasional tanpa kesiapan dari banyak sekolah, justru yang terjadi adalah produk pendidikan yang tidak bermutu. Seperti yang lagi marak sekarang ini yaitu system Drilling. Yang mana siswa hanya disuruh menghafal soal-soal saja, tanpa pemahaman yang mendalam. Kalau sudah begitu apa yang didapakan???? Kognisi saja tidak sempurna apalagi afektif dan psikomotorik.
Akhirnya saya ucapkan apresiasi yang tinggi untuk bapak Darsana Setiawan sebagai dosen yang selalu memberikan bimbingan dan mengajar saya dengan ikhlas, dan sebagai mujahid sejati. InsyaAllah ta`ala.
Wallahu A`lam bishshowab.

learning with Darsana said...

Saya ingin mengucapkan apresiasi sebesar-besarnya atas sikap kritis bapak dalam menilai kegiatan UN. Sebagian besar dari pendapat bapak banyak yang saya setujui terutama pemikiran bapak yang mengenai perlunya ujian kompetensi kejujuran atau integritas seorang guru. Kami berharap bapak sebagai tokoh pendidikan dapat terus bersikap kritis agar pendidikan di Indonesia dapat berkembang menjadi lebih baik.

learning with Darsana said...

Fenomena UAN sudah tidak asing lagi terdengar ditelinga kita, mulai dari kebocoran soal ujian hingga siswa yang bunuh diri gara-gara stress memikirkan UAN. Oleh karena itu, dalam hal penyelenggaraan ujian akhir, berikanlah hak sepenuhnya kepada sekolah untuk menyelenggarakan ujian. Berikanlah kebebasan kepada sekolah untuk membuat SPO ujian akhir dan menentukan kriteria dan kelulusan siswa, sesuai dengan kapabilitas sekolah. Sebab, pada akhirnya masyarakatlah yang akan mengakreditasi sekolah, sehingga pantas disebut berkualitas ataupun tidak.
Semakin ditinggikan nilai standar kelulusan, semakin menyeret siswa-siswi ke dalam jurang kemunafikan akademik. Akhirnya kualitas tidak perlu dikejar lagi, yang diutamakan adalah nilai kertas yang isinya nol. Ada apa dengan pendidikan di Indonesia?
Benar, UAN adalah salah satu evaluasi belajar yang merupakan saat pembuktian kemampuan siswa selama bertahun-tahun belajar di sekolah. Akan tetapi, UAN akhir-akhir ini menjadi tidak jelas tujuan konkritnya. Tidak jelas, karena kenyataan berbicara lain tentang hasil UAN sendiri. Sudah kurikulumnya gonta-ganti, Sistem UAN juga gonta-ganti, yah jelas, semuanya terletak pada konsistensi yang absurb.
Istilah-istilah keren muncul. Komputerisasilah, standarisasilah, istilah ini dan itulah. Semuanya berhubungan dengan UAN. Bukankah ketika kegagalan dihadapi oleh siswa yang dalam tanda petik “bingung” istilah itu dipakai sebagai jawaban atas kelulusannya? Atau mungkinkah sistem pendidikan kita yang salah? Atau barangkali, orang-orang yang menangani bidang pendidikan di negara ini terlalu pintar?
Melihat kembali ke belakang, ketika UAN masih memakai istilah EBTANAS. Soal-soal EBTANAS masih berdasarkan kurikulum yang sudah dipertahankan sekurang-kurangnya selama lima tahun. Hasilnya, siswa sempat menyesuaikan diri dengan kurikulum yang berlaku sehingga pada saat evaluasi akhir mereka juga sanggup menjawab pertanyaan dengan memperoleh kualitas dan nilai kertas.
Sekarang ini, KBK tidak sempat dipakai diseluruh sekolah di Indonesi, soal-soal UAN dibuat berdasarkan KBK. Sekolah-sekolah masih memantapkan KBK, muncul lagi KTSP dan akan dibuat soal UAN berdasarkan KTSP. Ini soal teknis saja. Kita lemah dalam hal ini.
Standar kelulusan yang semakin ditingkatkan adalah baik. Tetapi akan menjadi salah kalau tidak dibarengi dengan pengamatan langsung ke sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Menurut saya, tidak rugi kalau menghabiskan uang untuk kepentingan observasi lapangan ke sekolah-sekolah dari pada menghabiskan uang untuk merancang sistem pendidikan tanpa memperhatikan perkembangan kualitas anak didik.
olah: Munajat Sudirman al-Barqie

makhbub.blogspot.com said...

Kegelisahan yang Bapak rasakan tidak jauh beda dengan saya. bahwa benar profesionalisme kita sangat lemah disegala bidang. Ujian Nasional yang baru saja dilaksanaka secara serempak banyak mengandng kekurangan-kekurangan. Benar bahwa kita tidak bisa menyalahkan salah satu pihak saja tapi kita seharusnya melihat dari berbagai sisi. Kasus bahwa kepala sekolah "mensabotase" dokumen UM memang sungguh perbuatan yang memalukan dan patut mendapat balasan yang setimpal. Tapi pertanyaannya kemudian adalah apakah ia hanya bertindak seorang diri dalam mendapatkan dokumen rahasia itu? Tidakkkah ada oknum lain yang ikut membantu "lolosnya" dukumen itu? Oknum di sini bukan hanya pemerintah saja melainkan juga pihak berwenang yang menjaga kerahasiaan dokumen tersebut. Jika saja hanya Kepala Sekolah yang yeng bertindak bearti memang kesalahan ditumpukan sepenuhnya pada dia tapi ini sangat kecil kemungkinan tanpa adanya "pembati-pembantu" yang meloloskan pencurian dokumen tersebut.

Solihin said...

UJIAN NASIONAL SLTA 2007
Menarik sekali memang mencermati dunia pendidikan di negeri kita ini, munculnya polemic tahunan menjelang Un ini memang sebuah sirkulasi dari masalah sebelumnya yang susah dirunut untuk mencari pemecahannya yang ada adalah komentar dari berbagai pihak entah yang pro dan kontra itu sendiri,mencermati tulisan bapak tentang UN 2007 menjadikan kegusaran dihati saya yang mengatakan bahwa UN ini sudah tidak menarik minat siswa dikarenakan diknas menggunakan alat ukur standar sedangkan sekolah sudah standar internasional betulkah demikian? Menurut hemat saya tidak semudah itu yang ada dimedia massa asdalah munculnya kecaman dari berbagai pihak atas kebijakan diknas yang dirasakan sulit oleh siswa sehingga mengorbankan bidang pelajaran yang lainnya ,kita mengetahui berapa anggaran buat pendidikan , mungkin didaerah yang sudah maju dan mudah dijangkau transportasi tidak ada masalah tetapi bagaimana dengan daerah yang tertinggal, banyaknya konflik SARA yang sudah tidak memaksimalkan peran siswa untuk belajar, bagaimana daerah yang terisolasi. kita harus bijak dalam memaknai hidup , bahwa tujuan pendidikan yang pertama adalah meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan YME,pendidikan sejatinya bukan dalam ranah kognitip saja yang harus di uji kompetensinya tetapi bidang yang lainnya. Wajar bila diberbagai daerah terjadi kecurangan terhadap UN ini,bukan mereka ingin menghianati hati nuraniya tetapi rasa tanggung jawab terhadap anak didik.Masalah professionalism seperti apakah dalam pendidikan kita ini, apakah selalu mematuhi diknas yang mengeluarkan SK yang pada kenyataannya adalah kebijakan presiden juga yang setiap pergantian presiden mempunyai kebijakan yang berbeda-beda dalam dunia pendidikan, Indonesia adalah Negara politik bukan pendidikan???.karena pendidikan adalah seni membentuk manusia bukan untuk memperdaya manusia sesuka hatinya. Keadilan dalam pendidikan seharusnya sudah dijalankan, karena pendidikan bukan harus disamaratakan tetapi disesuaiakan dengan kondisi saat ini.Ws
solihin,muhamad

makhbub.blogspot.com said...

Oh ya Pa saya sudah membuat blog tapi di multiply. Alamatnya adalah www.makhbub.multiply.co.id. Terimakasih.

enggal al-Palembange said...

enggal al-Palembange
Tentang "UN"
Bukan hal asing lagi atau sudah menjadi rahasia umum tentang tragedi-tragedi yang terjadi ketika UN berlangsung.seperti;soal bocor;guru menjadi calo kunci jawaban.
pengalaman saya :"ketika saya mengajar di sebuah MTs Swasta di jakarta kebutulan saat itu mendekati UN.seminggu sebelum UN para dewan guru dikumpulkan di ruang kepala sekolah, termasuk saya.mereka membahas persiapan menjelang UN,yang membuat saya terkejut para dewan guru membentuk sebuah tim,yang mereka sebut sebagai tim sukses.tim ini dibagi perkelompok sesuai dengan bidang studi yang akan diujikan.setiap kelompok ini diwajibkan untuk menjawab soal UN, dan setiap guru mendapat jatah soal yang harus dijawab kemudian dikumpulkan jadi satu dan siap untuk diedarkan."
dari kasus di atas tentu banyak kejadian yang dilalui,seperti; pencurian soal;penyebaran jawaban Via sms;memanfaatkan kelalaian pengawas.
yang saya prihatinkan ini sudah sangat mengkristal dan menjadi sebuah budaya.pertanyaan yang akan timbul,kenapa?
tentu jawabannyapun akan variatif,pernah saya tanya langsung kepada salah satu guru tentang kasus ini,dia menjawab agar semua siswa bisa lulus, karena kebanyakan yang sekolah disini siswa/i yang tidak mampu.
saya bisa simpulkan ternyata faktor psikologis yang paling menjadi beban setiap siswa,bisa diilustrasikan sudah dia tidak mampu baik kemampuan akademis dan materinya,ditambah beban UN yang memiliki persyaratan khusus untuk lulus.akan mengakibatkan siswa/i menjadi takut untuk menghadapi kenyataan (tidak lulus UN).
Dari semua yang saya tulis di atas saya memberikan sebuah solusi,saya tujukan kepada Pemerintah khususnya DEPDIKNAS.menurut saya perlu daiadakan klarifikasi tentang makna UN kepada seluruh siswa/i di Indonesia.bagaimana caranya?
berikan simulasi berupa perubahan paradigma tentang makna UN kepada seluruh civitas akademika,jelaskanlah bahwasanya UN bukan Jastivikasi sepihak terhadap siswa, dan jelaskan pula UN bukanlah penentu utama sekolah menjadi lebih baik.
dengan demikian akan menghilangkan minimal mengurangi image bahwasanya UN bukanlah momok yang menakutkan bagi siawa/i.

enggal al-Palembange said...

Dwi Enggal
104016300465
pend.IPA-Fisika
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN SYAHID

Siti Nur'aini H said...

yang saya rasakan berdasarkan pengalaman yang saya alami.Mengenai UN tidak seheboh seperti pada tahun ke-4 belakangan ini.waktu sebelum diadakannya sitem KBK hingga KTSP tidak ada korban kejiwaan pada diri siswa, lain halnya dengan kondisi yang sekarang banyak siswa yang depresi,hingga ada siswa yang mengakhiri hidupnya karena tidak lulus UN,dan selain itu banyak guru yang resah dibuatnya,hal ini menunjukan ketidak siapan SDM.Mungkin banyak faktor yang mempengaruhi,diantaranya faktor fasilitas yang belum memadai, dan seharunya pemerintah memikirkan apakah fasilitas setiap sekolah yang ada di indonesia ini sudah memadai dan kondisinya sudah standar apa belum.sementara masih banyak sekali sekolah-sekolah yang terpencil yang sangat jauh dari peradaban.Mengenai sistem pendidikan seperti KBK dan KTSP saya rasa sistem ini cukup baik dan terprogram,namun sayangnya yang pertama di uji kompetensinya adalah siswa,padahal kalau menurut saya munkin lebih baik yang pertama kali harus teruji kompetensinya adalah profesionalisme SDMnya yang harus di benahi supaya tidak ada ketimpangan antara kompetensi guru dengan kompetensi siswa.

ria said...

RiaNita:
pada ujian tahun ini banyak siswa mwngalami stress akibat tuntutan nilai yang harus di capai siswa harus mencari srtategi dalam ujian agar bisa maenjawab soaL tapi kebanyakan siswa mengambil jalan belakang yaitu dengan mencari bocoran ujian nasionaL . setiap tahunnya dipastikan di setiap sekolah mendapatkan bocoran UN terbukti dengan banyaknya kasus seperti pada kasus kepala sekoalh di ngawi yang berusaha mengambil soal UN mereka melakukannya demi peserta didik agar LULUS semua dan nama baik sekolah.semoga di tahun yang akan datang tidak terulang kembali dan harus di tindak lanjuti jika ada yang melakukannya lagi

Fenomena Sains said...

Secara individualis saya sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Bapak, hanya saja yang perlu saya kritisi dari tema diatas adalah realita pendidikan sekarang.
Seperti yang telah kita ketahui bersama dari media informasi, ternyata masih banyak rakyat miskin diluar sana yang tidak mengenyam pendidikan. Jangankan untuk biaya mereka sekolah, biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-haripun sangat susah. Menurut saya, sebaiknya pemerintah menerapkan konsep pendidikan seperti apa yang telah diperjuangkan oleh bapak pendidikan kita (Ki Hajar Dewantara), dimana beliau mendirikan sekolah khusus bagi orang yang tidak mampu sehingga anak-anak dari semua kalangan dapat mengenyam pendidikan yang sama. Memang sudah ada dibeberapa sekolah yang menerapkan sistem pendidikan seperti di Bali. Di sebuah daerah kecil di propinsi Bali didirikan sebuah sekolah khusus yang tidak mewajibkan murid-muridnya untuk membayar iuran administrasi sekolah. Bukan karena mayoritas atau sebagian kondisi penduduknya miskin akan tetapi ada kebijakan tersendiri dari pemerintah daerah yang menyediakan anggaran dana sekitar 17% khusus untuk membiayai pendidikan di daerah tersebut. Pemerintah daerah menerapkan program wajib belajar 12 tahun kepada seluruh warganya. Jadi, anak-anak usia sekolah disana tidak akan putus sekolah karena sudah dijamin sampai lulus SMA nanti. Pemerintah sebaiknya menerapkan konsep bukan hanya di Bali saja, akan tetapi di semua tempat-tempat terpencil yang masyarakatnya tidak mendapatkan pendidikan secara layak dan merata.
Sistem pendidikan di Indinesia juga dirubah dengan tujuan agar kita bisa mengenyam pendidikan yang setara antara satu daerah dengan yang lain. Tengok saja masalah ujian nasional (UN) sekarang, hampir setiap tahun selalu saja diwarnai kontroversi yang mempermasalahkan nilai kelulusan dan penghapusan ujian nasional. Menurut saya dalam hal itu pemerintah sudah melakukan kinerjanya dengan baik. Di Indonesia nilai batas kelulusan rata-rata minimal 5,00 yang diterapkan pada UN (2006/2007) cukup untuk memetakan kualitas setiap sekolah. Standar itu jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti di Malaysia, yang hingga saat ini sudah menaikan standar diatas 6,00. Mungkin sebagian orang beranggapan nilai tersebut (5,00) terlalu tinggi karena kualitas pendidikan disetiap daerah tidak merata. Justru hal tersebut merupakan tantangan bagi para siswa, sekolah, dan pemerintah untuk menciptakan lulusan yang berkualitas. Apalagi syarat kelulusan hanya dilihat dari kompetensi dasar, seperti mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Ketiga mata pelajaran itu sudah diajarkan dan dikuasai sejak para siswa duduk di SD. Jadi, seharusnya mereka tidak perlu takut gagal atau tidak lulus dalam ujian. Bagi mereka yang dinyatakan tidak lulus seharusnya tidak melakukan sesuatu kegiatan anarkis yang bisa merugikan semua pihak.
Teringat dengan apa yang katakan oleh Bapak Jusuf Kalla (Wapres RI) setahun yang lalu saat kontroversi kelulusan siswa SLTA sedang ramai terjadi. Beliau mengatakan bahwa ”Jika tes kompetensi dasar saja mereka tidak lulus, bagaimana menghadapi persoalan yang lebih rumit lagi?”. Jadi, esensinya mereka tidak boleh menyepelekan kompetensi dasar yang mereka miliki, pemerintah justru sudah memberikan dispensasi (keringanan) tentang mata pelajaran dasar yang diujikan untuk melihat apakah mereka lulus atau tidak. Tinggal para siswa SLTA itu sendiri yang harus berjuang mencapai kelulusan dengan hasil yang murni dan jauh dari kecurangan.
Masalah lain yang harus diperhatikan pemerintah, yaitu sarana dan prasarana pendidikan yang rasa kurang memadai. Pemerintah harus memerhatikan nasib anak-anak yang putus sekolah dan segera mencari solusinya, mulai menyetarakan kualitas sekolah dari setiap daerah, dan meningkatkan prasarana dan fasilitasnya yang memadai untuk mendukung proses belajar-mengajar, kemudian mengawasi jalannya sistem pendidikan .....!terima kasih

Muhammad Hartato
Mahasiswa Pendidikan Fisika/VI
Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2007

Secara individualis saya sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Bapak, hanya saja yang perlu saya kritisi dari tema diatas adalah realita pendidikan sekarang.
Seperti yang telah kita ketahui bersama dari media informasi, ternyata masih banyak rakyat miskin diluar sana yang tidak mengenyam pendidikan. Jangankan untuk biaya mereka sekolah, biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-haripun sangat susah. Menurut saya, sebaiknya pemerintah menerapkan konsep pendidikan seperti apa yang telah diperjuangkan oleh bapak pendidikan kita (Ki Hajar Dewantara), dimana beliau mendirikan sekolah khusus bagi orang yang tidak mampu sehingga anak-anak dari semua kalangan dapat mengenyam pendidikan yang sama. Memang sudah ada dibeberapa sekolah yang menerapkan sistem pendidikan seperti di Bali. Di sebuah daerah kecil di propinsi Bali didirikan sebuah sekolah khusus yang tidak mewajibkan murid-muridnya untuk membayar iuran administrasi sekolah. Bukan karena mayoritas atau sebagian kondisi penduduknya miskin akan tetapi ada kebijakan tersendiri dari pemerintah daerah yang menyediakan anggaran dana sekitar 17% khusus untuk membiayai pendidikan di daerah tersebut. Pemerintah daerah menerapkan program wajib belajar 12 tahun kepada seluruh warganya. Jadi, anak-anak usia sekolah disana tidak akan putus sekolah karena sudah dijamin sampai lulus SMA nanti. Pemerintah sebaiknya menerapkan konsep bukan hanya di Bali saja, akan tetapi di semua tempat-tempat terpencil yang masyarakatnya tidak mendapatkan pendidikan secara layak dan merata.
Sistem pendidikan di Indinesia juga dirubah dengan tujuan agar kita bisa mengenyam pendidikan yang setara antara satu daerah dengan yang lain. Tengok saja masalah ujian nasional (UN) sekarang, hampir setiap tahun selalu saja diwarnai kontroversi yang mempermasalahkan nilai kelulusan dan penghapusan ujian nasional. Menurut saya dalam hal itu pemerintah sudah melakukan kinerjanya dengan baik. Di Indonesia nilai batas kelulusan rata-rata minimal 5,00 yang diterapkan pada UN (2006/2007) cukup untuk memetakan kualitas setiap sekolah. Standar itu jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti di Malaysia, yang hingga saat ini sudah menaikan standar diatas 6,00. Mungkin sebagian orang beranggapan nilai tersebut (5,00) terlalu tinggi karena kualitas pendidikan disetiap daerah tidak merata. Justru hal tersebut merupakan tantangan bagi para siswa, sekolah, dan pemerintah untuk menciptakan lulusan yang berkualitas. Apalagi syarat kelulusan hanya dilihat dari kompetensi dasar, seperti mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Ketiga mata pelajaran itu sudah diajarkan dan dikuasai sejak para siswa duduk di SD. Jadi, seharusnya mereka tidak perlu takut gagal atau tidak lulus dalam ujian. Bagi mereka yang dinyatakan tidak lulus seharusnya tidak melakukan sesuatu kegiatan anarkis yang bisa merugikan semua pihak.
Teringat dengan apa yang katakan oleh Bapak Jusuf Kalla (Wapres RI) setahun yang lalu saat kontroversi kelulusan siswa SLTA sedang ramai terjadi. Beliau mengatakan bahwa ”Jika tes kompetensi dasar saja mereka tidak lulus, bagaimana menghadapi persoalan yang lebih rumit lagi?”. Jadi, esensinya mereka tidak boleh menyepelekan kompetensi dasar yang mereka miliki, pemerintah justru sudah memberikan dispensasi (keringanan) tentang mata pelajaran dasar yang diujikan untuk melihat apakah mereka lulus atau tidak. Tinggal para siswa SLTA itu sendiri yang harus berjuang mencapai kelulusan dengan hasil yang murni dan jauh dari kecurangan.
Masalah lain yang harus diperhatikan pemerintah, yaitu sarana dan prasarana pendidikan yang rasa kurang memadai. Pemerintah harus memerhatikan nasib anak-anak yang putus sekolah dan segera mencari solusinya, mulai menyetarakan kualitas sekolah dari setiap daerah, dan meningkatkan prasarana dan fasilitasnya yang memadai untuk mendukung proses belajar-mengajar, kemudian mengawasi jalannya sistem pendidikan .....!terima kasih

Muhammad Hartato
Mahasiswa Pendidikan Fisika/VI
Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2007

Secara individualis saya sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Bapak, hanya saja yang perlu saya kritisi dari tema diatas adalah realita pendidikan sekarang.
Seperti yang telah kita ketahui bersama dari media informasi, ternyata masih banyak rakyat miskin diluar sana yang tidak mengenyam pendidikan. Jangankan untuk biaya mereka sekolah, biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-haripun sangat susah. Menurut saya, sebaiknya pemerintah menerapkan konsep pendidikan seperti apa yang telah diperjuangkan oleh bapak pendidikan kita (Ki Hajar Dewantara), dimana beliau mendirikan sekolah khusus bagi orang yang tidak mampu sehingga anak-anak dari semua kalangan dapat mengenyam pendidikan yang sama. Memang sudah ada dibeberapa sekolah yang menerapkan sistem pendidikan seperti di Bali. Di sebuah daerah kecil di propinsi Bali didirikan sebuah sekolah khusus yang tidak mewajibkan murid-muridnya untuk membayar iuran administrasi sekolah. Bukan karena mayoritas atau sebagian kondisi penduduknya miskin akan tetapi ada kebijakan tersendiri dari pemerintah daerah yang menyediakan anggaran dana sekitar 17% khusus untuk membiayai pendidikan di daerah tersebut. Pemerintah daerah menerapkan program wajib belajar 12 tahun kepada seluruh warganya. Jadi, anak-anak usia sekolah disana tidak akan putus sekolah karena sudah dijamin sampai lulus SMA nanti. Pemerintah sebaiknya menerapkan konsep bukan hanya di Bali saja, akan tetapi di semua tempat-tempat terpencil yang masyarakatnya tidak mendapatkan pendidikan secara layak dan merata.
Sistem pendidikan di Indinesia juga dirubah dengan tujuan agar kita bisa mengenyam pendidikan yang setara antara satu daerah dengan yang lain. Tengok saja masalah ujian nasional (UN) sekarang, hampir setiap tahun selalu saja diwarnai kontroversi yang mempermasalahkan nilai kelulusan dan penghapusan ujian nasional. Menurut saya dalam hal itu pemerintah sudah melakukan kinerjanya dengan baik. Di Indonesia nilai batas kelulusan rata-rata minimal 5,00 yang diterapkan pada UN (2006/2007) cukup untuk memetakan kualitas setiap sekolah. Standar itu jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti di Malaysia, yang hingga saat ini sudah menaikan standar diatas 6,00. Mungkin sebagian orang beranggapan nilai tersebut (5,00) terlalu tinggi karena kualitas pendidikan disetiap daerah tidak merata. Justru hal tersebut merupakan tantangan bagi para siswa, sekolah, dan pemerintah untuk menciptakan lulusan yang berkualitas. Apalagi syarat kelulusan hanya dilihat dari kompetensi dasar, seperti mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Ketiga mata pelajaran itu sudah diajarkan dan dikuasai sejak para siswa duduk di SD. Jadi, seharusnya mereka tidak perlu takut gagal atau tidak lulus dalam ujian. Bagi mereka yang dinyatakan tidak lulus seharusnya tidak melakukan sesuatu kegiatan anarkis yang bisa merugikan semua pihak.
Teringat dengan apa yang katakan oleh Bapak Jusuf Kalla (Wapres RI) setahun yang lalu saat kontroversi kelulusan siswa SLTA sedang ramai terjadi. Beliau mengatakan bahwa ”Jika tes kompetensi dasar saja mereka tidak lulus, bagaimana menghadapi persoalan yang lebih rumit lagi?”. Jadi, esensinya mereka tidak boleh menyepelekan kompetensi dasar yang mereka miliki, pemerintah justru sudah memberikan dispensasi (keringanan) tentang mata pelajaran dasar yang diujikan untuk melihat apakah mereka lulus atau tidak. Tinggal para siswa SLTA itu sendiri yang harus berjuang mencapai kelulusan dengan hasil yang murni dan jauh dari kecurangan.
Masalah lain yang harus diperhatikan pemerintah, yaitu sarana dan prasarana pendidikan yang rasa kurang memadai. Pemerintah harus memerhatikan nasib anak-anak yang putus sekolah dan segera mencari solusinya, mulai menyetarakan kualitas sekolah dari setiap daerah, dan meningkatkan prasarana dan fasilitasnya yang memadai untuk mendukung proses belajar-mengajar, kemudian mengawasi jalannya sistem pendidikan .....!terima kasih

Muhammad Hartato
Mahasiswa Pendidikan Fisika/VI
Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2007

Secara individualis saya sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Bapak, hanya saja yang perlu saya kritisi dari tema diatas adalah realita pendidikan sekarang.
Seperti yang telah kita ketahui bersama dari media informasi, ternyata masih banyak rakyat miskin diluar sana yang tidak mengenyam pendidikan. Jangankan untuk biaya mereka sekolah, biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-haripun sangat susah. Menurut saya, sebaiknya pemerintah menerapkan konsep pendidikan seperti apa yang telah diperjuangkan oleh bapak pendidikan kita (Ki Hajar Dewantara), dimana beliau mendirikan sekolah khusus bagi orang yang tidak mampu sehingga anak-anak dari semua kalangan dapat mengenyam pendidikan yang sama. Memang sudah ada dibeberapa sekolah yang menerapkan sistem pendidikan seperti di Bali. Di sebuah daerah kecil di propinsi Bali didirikan sebuah sekolah khusus yang tidak mewajibkan murid-muridnya untuk membayar iuran administrasi sekolah. Bukan karena mayoritas atau sebagian kondisi penduduknya miskin akan tetapi ada kebijakan tersendiri dari pemerintah daerah yang menyediakan anggaran dana sekitar 17% khusus untuk membiayai pendidikan di daerah tersebut. Pemerintah daerah menerapkan program wajib belajar 12 tahun kepada seluruh warganya. Jadi, anak-anak usia sekolah disana tidak akan putus sekolah karena sudah dijamin sampai lulus SMA nanti. Pemerintah sebaiknya menerapkan konsep bukan hanya di Bali saja, akan tetapi di semua tempat-tempat terpencil yang masyarakatnya tidak mendapatkan pendidikan secara layak dan merata.
Sistem pendidikan di Indinesia juga dirubah dengan tujuan agar kita bisa mengenyam pendidikan yang setara antara satu daerah dengan yang lain. Tengok saja masalah ujian nasional (UN) sekarang, hampir setiap tahun selalu saja diwarnai kontroversi yang mempermasalahkan nilai kelulusan dan penghapusan ujian nasional. Menurut saya dalam hal itu pemerintah sudah melakukan kinerjanya dengan baik. Di Indonesia nilai batas kelulusan rata-rata minimal 5,00 yang diterapkan pada UN (2006/2007) cukup untuk memetakan kualitas setiap sekolah. Standar itu jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti di Malaysia, yang hingga saat ini sudah menaikan standar diatas 6,00. Mungkin sebagian orang beranggapan nilai tersebut (5,00) terlalu tinggi karena kualitas pendidikan disetiap daerah tidak merata. Justru hal tersebut merupakan tantangan bagi para siswa, sekolah, dan pemerintah untuk menciptakan lulusan yang berkualitas. Apalagi syarat kelulusan hanya dilihat dari kompetensi dasar, seperti mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Ketiga mata pelajaran itu sudah diajarkan dan dikuasai sejak para siswa duduk di SD. Jadi, seharusnya mereka tidak perlu takut gagal atau tidak lulus dalam ujian. Bagi mereka yang dinyatakan tidak lulus seharusnya tidak melakukan sesuatu kegiatan anarkis yang bisa merugikan semua pihak.
Teringat dengan apa yang katakan oleh Bapak Jusuf Kalla (Wapres RI) setahun yang lalu saat kontroversi kelulusan siswa SLTA sedang ramai terjadi. Beliau mengatakan bahwa ”Jika tes kompetensi dasar saja mereka tidak lulus, bagaimana menghadapi persoalan yang lebih rumit lagi?”. Jadi, esensinya mereka tidak boleh menyepelekan kompetensi dasar yang mereka miliki, pemerintah justru sudah memberikan dispensasi (keringanan) tentang mata pelajaran dasar yang diujikan untuk melihat apakah mereka lulus atau tidak. Tinggal para siswa SLTA itu sendiri yang harus berjuang mencapai kelulusan dengan hasil yang murni dan jauh dari kecurangan.
Masalah lain yang harus diperhatikan pemerintah, yaitu sarana dan prasarana pendidikan yang rasa kurang memadai. Pemerintah harus memerhatikan nasib anak-anak yang putus sekolah dan segera mencari solusinya, mulai menyetarakan kualitas sekolah dari setiap daerah, dan meningkatkan prasarana dan fasilitasnya yang memadai untuk mendukung proses belajar-mengajar, kemudian mengawasi jalannya sistem pendidikan .....!terima kasih

Muhammad Hartato
Mahasiswa Pendidikan Fisika/VI
Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2007

Secara individualis saya sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Bapak, hanya saja yang perlu saya kritisi dari tema diatas adalah realita pendidikan sekarang.
Seperti yang telah kita ketahui bersama dari media informasi, ternyata masih banyak rakyat miskin diluar sana yang tidak mengenyam pendidikan. Jangankan untuk biaya mereka sekolah, biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-haripun sangat susah. Menurut saya, sebaiknya pemerintah menerapkan konsep pendidikan seperti apa yang telah diperjuangkan oleh bapak pendidikan kita (Ki Hajar Dewantara), dimana beliau mendirikan sekolah khusus bagi orang yang tidak mampu sehingga anak-anak dari semua kalangan dapat mengenyam pendidikan yang sama. Memang sudah ada dibeberapa sekolah yang menerapkan sistem pendidikan seperti di Bali. Di sebuah daerah kecil di propinsi Bali didirikan sebuah sekolah khusus yang tidak mewajibkan murid-muridnya untuk membayar iuran administrasi sekolah. Bukan karena mayoritas atau sebagian kondisi penduduknya miskin akan tetapi ada kebijakan tersendiri dari pemerintah daerah yang menyediakan anggaran dana sekitar 17% khusus untuk membiayai pendidikan di daerah tersebut. Pemerintah daerah menerapkan program wajib belajar 12 tahun kepada seluruh warganya. Jadi, anak-anak usia sekolah disana tidak akan putus sekolah karena sudah dijamin sampai lulus SMA nanti. Pemerintah sebaiknya menerapkan konsep bukan hanya di Bali saja, akan tetapi di semua tempat-tempat terpencil yang masyarakatnya tidak mendapatkan pendidikan secara layak dan merata.
Sistem pendidikan di Indinesia juga dirubah dengan tujuan agar kita bisa mengenyam pendidikan yang setara antara satu daerah dengan yang lain. Tengok saja masalah ujian nasional (UN) sekarang, hampir setiap tahun selalu saja diwarnai kontroversi yang mempermasalahkan nilai kelulusan dan penghapusan ujian nasional. Menurut saya dalam hal itu pemerintah sudah melakukan kinerjanya dengan baik. Di Indonesia nilai batas kelulusan rata-rata minimal 5,00 yang diterapkan pada UN (2006/2007) cukup untuk memetakan kualitas setiap sekolah. Standar itu jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti di Malaysia, yang hingga saat ini sudah menaikan standar diatas 6,00. Mungkin sebagian orang beranggapan nilai tersebut (5,00) terlalu tinggi karena kualitas pendidikan disetiap daerah tidak merata. Justru hal tersebut merupakan tantangan bagi para siswa, sekolah, dan pemerintah untuk menciptakan lulusan yang berkualitas. Apalagi syarat kelulusan hanya dilihat dari kompetensi dasar, seperti mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Ketiga mata pelajaran itu sudah diajarkan dan dikuasai sejak para siswa duduk di SD. Jadi, seharusnya mereka tidak perlu takut gagal atau tidak lulus dalam ujian. Bagi mereka yang dinyatakan tidak lulus seharusnya tidak melakukan sesuatu kegiatan anarkis yang bisa merugikan semua pihak.
Teringat dengan apa yang katakan oleh Bapak Jusuf Kalla (Wapres RI) setahun yang lalu saat kontroversi kelulusan siswa SLTA sedang ramai terjadi. Beliau mengatakan bahwa ”Jika tes kompetensi dasar saja mereka tidak lulus, bagaimana menghadapi persoalan yang lebih rumit lagi?”. Jadi, esensinya mereka tidak boleh menyepelekan kompetensi dasar yang mereka miliki, pemerintah justru sudah memberikan dispensasi (keringanan) tentang mata pelajaran dasar yang diujikan untuk melihat apakah mereka lulus atau tidak. Tinggal para siswa SLTA itu sendiri yang harus berjuang mencapai kelulusan dengan hasil yang murni dan jauh dari kecurangan.
Masalah lain yang harus diperhatikan pemerintah, yaitu sarana dan prasarana pendidikan yang rasa kurang memadai. Pemerintah harus memerhatikan nasib anak-anak yang putus sekolah dan segera mencari solusinya, mulai menyetarakan kualitas sekolah dari setiap daerah, dan meningkatkan prasarana dan fasilitasnya yang memadai untuk mendukung proses belajar-mengajar, kemudian mengawasi jalannya sistem pendidikan .....!terima kasih

Muhammad Hartato
Mahasiswa Pendidikan Fisika/VI
Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2007

Secara individualis saya sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Bapak, hanya saja yang perlu saya kritisi dari tema diatas adalah realita pendidikan sekarang.
Seperti yang telah kita ketahui bersama dari media informasi, ternyata masih banyak rakyat miskin diluar sana yang tidak mengenyam pendidikan. Jangankan untuk biaya mereka sekolah, biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-haripun sangat susah. Menurut saya, sebaiknya pemerintah menerapkan konsep pendidikan seperti apa yang telah diperjuangkan oleh bapak pendidikan kita (Ki Hajar Dewantara), dimana beliau mendirikan sekolah khusus bagi orang yang tidak mampu sehingga anak-anak dari semua kalangan dapat mengenyam pendidikan yang sama. Memang sudah ada dibeberapa sekolah yang menerapkan sistem pendidikan seperti di Bali. Di sebuah daerah kecil di propinsi Bali didirikan sebuah sekolah khusus yang tidak mewajibkan murid-muridnya untuk membayar iuran administrasi sekolah. Bukan karena mayoritas atau sebagian kondisi penduduknya miskin akan tetapi ada kebijakan tersendiri dari pemerintah daerah yang menyediakan anggaran dana sekitar 17% khusus untuk membiayai pendidikan di daerah tersebut. Pemerintah daerah menerapkan program wajib belajar 12 tahun kepada seluruh warganya. Jadi, anak-anak usia sekolah disana tidak akan putus sekolah karena sudah dijamin sampai lulus SMA nanti. Pemerintah sebaiknya menerapkan konsep bukan hanya di Bali saja, akan tetapi di semua tempat-tempat terpencil yang masyarakatnya tidak mendapatkan pendidikan secara layak dan merata.
Sistem pendidikan di Indinesia juga dirubah dengan tujuan agar kita bisa mengenyam pendidikan yang setara antara satu daerah dengan yang lain. Tengok saja masalah ujian nasional (UN) sekarang, hampir setiap tahun selalu saja diwarnai kontroversi yang mempermasalahkan nilai kelulusan dan penghapusan ujian nasional. Menurut saya dalam hal itu pemerintah sudah melakukan kinerjanya dengan baik. Di Indonesia nilai batas kelulusan rata-rata minimal 5,00 yang diterapkan pada UN (2006/2007) cukup untuk memetakan kualitas setiap sekolah. Standar itu jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti di Malaysia, yang hingga saat ini sudah menaikan standar diatas 6,00. Mungkin sebagian orang beranggapan nilai tersebut (5,00) terlalu tinggi karena kualitas pendidikan disetiap daerah tidak merata. Justru hal tersebut merupakan tantangan bagi para siswa, sekolah, dan pemerintah untuk menciptakan lulusan yang berkualitas. Apalagi syarat kelulusan hanya dilihat dari kompetensi dasar, seperti mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Ketiga mata pelajaran itu sudah diajarkan dan dikuasai sejak para siswa duduk di SD. Jadi, seharusnya mereka tidak perlu takut gagal atau tidak lulus dalam ujian. Bagi mereka yang dinyatakan tidak lulus seharusnya tidak melakukan sesuatu kegiatan anarkis yang bisa merugikan semua pihak.
Teringat dengan apa yang katakan oleh Bapak Jusuf Kalla (Wapres RI) setahun yang lalu saat kontroversi kelulusan siswa SLTA sedang ramai terjadi. Beliau mengatakan bahwa ”Jika tes kompetensi dasar saja mereka tidak lulus, bagaimana menghadapi persoalan yang lebih rumit lagi?”. Jadi, esensinya mereka tidak boleh menyepelekan kompetensi dasar yang mereka miliki, pemerintah justru sudah memberikan dispensasi (keringanan) tentang mata pelajaran dasar yang diujikan untuk melihat apakah mereka lulus atau tidak. Tinggal para siswa SLTA itu sendiri yang harus berjuang mencapai kelulusan dengan hasil yang murni dan jauh dari kecurangan.
Masalah lain yang harus diperhatikan pemerintah, yaitu sarana dan prasarana pendidikan yang rasa kurang memadai. Pemerintah harus memerhatikan nasib anak-anak yang putus sekolah dan segera mencari solusinya, mulai menyetarakan kualitas sekolah dari setiap daerah, dan meningkatkan prasarana dan fasilitasnya yang memadai untuk mendukung proses belajar-mengajar, kemudian mengawasi jalannya sistem pendidikan .....!terima kasih

Muhammad Hartato
Mahasiswa Pendidikan Fisika/VI
Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2007

Secara individualis saya sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Bapak, hanya saja yang perlu saya kritisi dari tema diatas adalah realita pendidikan sekarang.
Seperti yang telah kita ketahui bersama dari media informasi, ternyata masih banyak rakyat miskin diluar sana yang tidak mengenyam pendidikan. Jangankan untuk biaya mereka sekolah, biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-haripun sangat susah. Menurut saya, sebaiknya pemerintah menerapkan konsep pendidikan seperti apa yang telah diperjuangkan oleh bapak pendidikan kita (Ki Hajar Dewantara), dimana beliau mendirikan sekolah khusus bagi orang yang tidak mampu sehingga anak-anak dari semua kalangan dapat mengenyam pendidikan yang sama. Memang sudah ada dibeberapa sekolah yang menerapkan sistem pendidikan seperti di Bali. Di sebuah daerah kecil di propinsi Bali didirikan sebuah sekolah khusus yang tidak mewajibkan murid-muridnya untuk membayar iuran administrasi sekolah. Bukan karena mayoritas atau sebagian kondisi penduduknya miskin akan tetapi ada kebijakan tersendiri dari pemerintah daerah yang menyediakan anggaran dana sekitar 17% khusus untuk membiayai pendidikan di daerah tersebut. Pemerintah daerah menerapkan program wajib belajar 12 tahun kepada seluruh warganya. Jadi, anak-anak usia sekolah disana tidak akan putus sekolah karena sudah dijamin sampai lulus SMA nanti. Pemerintah sebaiknya menerapkan konsep bukan hanya di Bali saja, akan tetapi di semua tempat-tempat terpencil yang masyarakatnya tidak mendapatkan pendidikan secara layak dan merata.
Sistem pendidikan di Indinesia juga dirubah dengan tujuan agar kita bisa mengenyam pendidikan yang setara antara satu daerah dengan yang lain. Tengok saja masalah ujian nasional (UN) sekarang, hampir setiap tahun selalu saja diwarnai kontroversi yang mempermasalahkan nilai kelulusan dan penghapusan ujian nasional. Menurut saya dalam hal itu pemerintah sudah melakukan kinerjanya dengan baik. Di Indonesia nilai batas kelulusan rata-rata minimal 5,00 yang diterapkan pada UN (2006/2007) cukup untuk memetakan kualitas setiap sekolah. Standar itu jauh tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti di Malaysia, yang hingga saat ini sudah menaikan standar diatas 6,00. Mungkin sebagian orang beranggapan nilai tersebut (5,00) terlalu tinggi karena kualitas pendidikan disetiap daerah tidak merata. Justru hal tersebut merupakan tantangan bagi para siswa, sekolah, dan pemerintah untuk menciptakan lulusan yang berkualitas. Apalagi syarat kelulusan hanya dilihat dari kompetensi dasar, seperti mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Bahasa Inggris. Ketiga mata pelajaran itu sudah diajarkan dan dikuasai sejak para siswa duduk di SD. Jadi, seharusnya mereka tidak perlu takut gagal atau tidak lulus dalam ujian. Bagi mereka yang dinyatakan tidak lulus seharusnya tidak melakukan sesuatu kegiatan anarkis yang bisa merugikan semua pihak.
Teringat dengan apa yang katakan oleh Bapak Jusuf Kalla (Wapres RI) setahun yang lalu saat kontroversi kelulusan siswa SLTA sedang ramai terjadi. Beliau mengatakan bahwa ”Jika tes kompetensi dasar saja mereka tidak lulus, bagaimana menghadapi persoalan yang lebih rumit lagi?”. Jadi, esensinya mereka tidak boleh menyepelekan kompetensi dasar yang mereka miliki, pemerintah justru sudah memberikan dispensasi (keringanan) tentang mata pelajaran dasar yang diujikan untuk melihat apakah mereka lulus atau tidak. Tinggal para siswa SLTA itu sendiri yang harus berjuang mencapai kelulusan dengan hasil yang murni dan jauh dari kecurangan.
Masalah lain yang harus diperhatikan pemerintah, yaitu sarana dan prasarana pendidikan yang rasa kurang memadai. Pemerintah harus memerhatikan nasib anak-anak yang putus sekolah dan segera mencari solusinya, mulai menyetarakan kualitas sekolah dari setiap daerah, dan meningkatkan prasarana dan fasilitasnya yang memadai untuk mendukung proses belajar-mengajar, kemudian mengawasi jalannya sistem pendidikan .....!terima kasih

Muhammad Hartato
Mahasiswa Pendidikan Fisika/VI
Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2007

Solihin said...

as.bapak nie solihin untuk tugas blog bapak dapat melihatnya di http://www.mauricadirac.blogspot.com atau di http://www.solihinaction>blogspot.com, mohon maaf apabila belum sempurna.ws

lia said...

Lia agustina
Seperti yang terjadi di SMK 5 Ngawi. Kepala sekolah nekat mencuri naska UN yang merupakan dokumen negara.Dia mengakui perbuatan tersebut, karena dia tidak mau murid-murid/peserta didiknya tersebut tidak lulus seperti kejadian-kejadian tahun-tahun kemarin. Apakah seperti itu para peserta didik kita untuk meraih prestasi agar sekolahnya bisa dipandang lebih baik?.Pencurian naskah UN adalah pencurian terhadap dokumen negara, dan sudah seharusnya ditindak lanjuti secara serius, dan proses hukumnya/hukumannya disampaikan secara terbuka kepada publik. Agar menjadi sebuah pembelajaran bagi semua guru-guru yang ingin mendapatkan kompetensi nilai siswa yang bagus dengan cara yang salah.
Untuk itu pasti ada kesalahan pada sekolahan tersebut. Mungkin pada tenaga pendidiknya yang kurang berkompetensi atau sistem pemebelajarannya yang kurang bagus, sehingga menimbulkan ketidak yakinan seorang guru atau kepala sekolah tersebut kalau siswanya banyak yang akan tidak lulus. Untuk itu harus ada pembenahan kurikulum, standar pembiayaan dan yang utama standar pendidikan.

biologi said...

menurut saya dalam pelaksanaanya akan berbeda dengan perencanaan yang telah disepakati, apapun itu. Apalagi hal yang besar seperti UN. saya sendiri, pada saat menghadapai UN dulu, kekhawatiran akan muncul dan pasti dialami juga semua orang yang juga menghadapinya. Apalagi generasi sesudah saya yang akan mengalami peningkatan kualitas baik dari segi guru maupun muridnya.

UN sekarang akan lebih menghadapi banyak masalah dan perbaikan yang akan terus berdampak langsung pada perbaikan mutu pendidikan di Indonesia.

saya percaya bahwa adanya kebocoran pada UN kali ini pasti dikarenakan unsur lain, dan mungkin adalah keterikatan hati seorang guru kepada muridnya. Setiap guru selalu ingin muridnya berhasil dan mungkin ini yang melatar belakangi adanya masalah klasik pada setiap kali UN,


NOVI TRIASTUTIK
2004 415 0010
PENDIDIKAN BIOLOGI
FT-MIPA
UNINDRA

pak jbn lupa untuk mampir ke blog saya juga ya.....

novitutut.blogspot.com

education said...

pak,menurut saya..apa yang bapak uraikan sangat baik untuk sayua sebagai seorang generasi calon guru. semoga tetap berpegang teguh pada pendirian bapak dan saya. ayo pak, kita sama-sama menyongsong demi kemajuan pendidikan Indonesia.
Maju..Maju...Semangat... ya Pak...saya selalu mendukung bapak...Caiooo.

pak bales ya ke email saya
ulfah15@gmail.com
dan jangan lupa blog saya
http://mariaulfa.blogspot.com

nama : maria ulfa
npm : 200541519002
semester IV
Pendidikan Biologi
Universitas Indraprasta PGRI

biologi said...

Assalamuallaikum,
nama:RAHMAH NURHAYATI
NPM :20054150007
JURUSAN:PENDIDIKAN BIOLOGI UNINDRA (SEMESTER 4)
Bapak ini blog saya,menurut pendapat saya bila seorang guru memberi bocoran isi UN pada siswanya berarti guru tersebut belum berhasil menjadi pendidik yang baik dan berkompenten, guru-guru tersebut harus menyadari hal tersebut.Menurut pandangan saya mungkin perlu adanya penataran untuk guru-guru khususnya untuk penembangan psiologi kejiwaan guru bagaimana menciptakan seorang siswa yang berpendidikan dan berakhlaq.Bapak mungkin negara kita belum mencipatakan karakter siswa sepetri pahlawan kita BUDI UTOMO,bapak saya berharap bila saya berkecimpung didunia pendidikan nanti saya dapat merubah walaupun sedikit.Terusterang saya merasa sedih dengan pendidikan Indonesia sekarang ini,saya mempunyai cerita seorang siswa SMP yang tidak mau lagi diajarkan gurunya karena gurunya pernah menjewer telinganya,yang dikarenakan siswa tersebut makan dikantin saat gurunya tidak masuk,karena siswa tersebut lapar jadi siswa tersebut makan dikantin,tetapi guru tersebut tidak mau menerima penjelasan dari siswa tersebut,bagaimana menurut bapak untuk memulihkan minat belajar siswa tersebut? maaf bapak kalau pendapat saya terlalu panjang dan kurang berkualitas maklum baru belajar.
BAPAK BALAS KE email saya
rahmah.nurhayati@.com
dan blog saya
http://rahmahnurhayati.blogspot.com
WASSALAMUALLAIKUM,

hani said...

ass.
setelah membaca uraian yang bapak sampaikan dalam blog bapak, saya sependapat dengan bapak dalam hal keprofesionalan seorang guru. saat ini banyak guru yang sudah menyimpang dari tugas guru, mereka menanggap tugas mereka sudah selesai setelah bel sekolah berbunyi yang menandakan selesainya pelajaran hari itu, namun tugas seorang guru tidaklah hanya mengajar namun juga membimbing dan sebagai panutan bagi siswanya. hali itulah yang kurang saat ini dalam dunia pendidikan kita yaitu kurangnya guru yng dapat menjadi panutan bagi siswa. mungkin hal itu terjadi karena penyeleksian guru yang asal-asalan, tanpa mendahulukan yang berpotensi tetapi mendahulukan yang memiliki uang. bila hal tersebut masih diterapkan dalam dunia pendidikan di indonesia maka jangan berharap terlalu banyak akan perubahan yang terjadi di dunia pendidikan kita, meskipun biaya pendidikan gratis tapi bila kualitas guru di dalamnya tidak ada perbaikan maka alangkah sayangnya semua itu!!!!
was.
pak, kunjungi juga blog saya
http://bookersblog.com
di tunggu yah pak komentarnya!!!

hani mudawaroh
pendidikan biologi semester IV
universitas indraprasta pgri
alamat email: hani_holmes@yahoo.co.id

Murnie said...

Asw2..
Sebenarnya saya bingung pa mau comment apa?
Tapi kalau menurut saya, bila guru itu membocorkan soal yang akan diujikan maka guru itu bukan termasuk guru yang professional..kemungkinan dikarenakan kehidupan guru yang tidak memadai maksudnya dengan gaji guru yang di bawah standar ( menurut pendapat beberapa guru yang saya tau !) sehingga mengabaikan keprofesionalannya hanya untuk mencukupi hidupnya atau untuk menjaga harga diri sehingga membantu anak didiknya dalam membocorkan soal ujian.. seharusnya sebelum jadi guru kita harus benar menetapkan diri menjadi seorang guru agar profesi kita tidak sia-sia dengan melakukan hal tersebut…ini juga sebagai ajaran buat saya sebagai calon guru..

Maaf pa jika ada salah kata..

Saya mahasiswi Universitas Indraprasta PGRI
Nama : Murniyati
Npm : 20054150040
Pend. Biologi ( Semester IV )

Alamat email
mur_ni3@yahoo.com

Wassalam.

ety said...

ass.
setelah saya membaca blog bapak, saya setuju dengan apa yang bapak aspirasikan. menurut saya terjadinya kebocoran soal UN di indonesia, ada beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut; pertama, keinginan siswa untuk memperoleh nilai bagus maka siswa tersebut menggunakan segala cara, contohnya membeli soal dengan pihak2 tertentu. kedua, dilihat dari pihak2 yamg terlibat dalam pembuatan,pendistribusian dan penyimpanan soal. ketiga, dari pihak sekolah yang ingin menjaga nama baik sekolah dan ingin menjadi sekolah favorit, sehingga memberikan bocoran kepada siswa/i nya. dengan adanya bocoran tersebut siswa/i tersebut menjadi santai dan tidak ada rasa stress maupun tegang karena mereka pikir mereka sudah mendapat bocorannya dan mereka yakin akan lulus.
menurut saya kebocoran tersebut dapat di berantas jika SDM di indonesia ini memiliki kualitas yang bagus dari kepala pemerintahannya sampai ke tingkat bawah dan mempunyai iman dan taqwa serta sifat jujur yang sangat tinggi. maka sampai kapan pun UN akan selalu mengalami kebocoran jika dari pemerintahan, sekolah, dan siswa itu sendiri tidak ada kejujuran dalam dirinya sendiri maupun kepada orang lain terutama ALLAH SWT.
demikian pendapat saya apabila terdapat kata2 yang salah harap dimaklumi.

ETI FITRIAH
200541519005
Pend. biologi
semester IV
universitas indraprasta pgri

pak, kunjungi juga blog saya yah
http://pi2tblog.blogspot.com
atau balas ke email saya
pi2t_sweet@yahoo.com

ida said...

Ass
Mengenai "UJIAN AKHIR NASIONAL" pada tahun ini saya berpendapat bahwa seharusnya masalah mengenai kebocoran soal ujian yang terjadi di Jawa Timur itu tidak terjadi, karena bagaimana pun juga kinerja guru dalam hal ini sangat diperhitungkan, itu akan merusak citra guru sebagai seorang pendidik. Penerapan ujian akhir nasional dengan persyaratan "LULUS/TIDAK LULUS" memang harus dilaksanakan, karena dengan demikian kita dapat menjadi daya ukur mengenai kemampuan peserta didik di negara kita ini dengan negara lain di dunia dan tugas kita sekarang adalah bagaimana caranya meningkatkan mutu pendidikan di indonesia untuk menjadi negara yang maju karena itu merupakan modal utama.

http://himurachan-blog.blogspot.com/

Nama : IDA HAMIDAH
NPM : 20054150024
PENDIDIKAN BIOLOGI SMT IV
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI